Monday, April 29, 2013

Tasawuf Menurut Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah berkata, “Di dalam memahami jalan hidup yang ditempuh kaum sufi, orang-orang ramai yang keliru memandang mereka, bahkan mengecam tasawuf……..
Tingkatan Sufi Menurut Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah membagi tingkatan sufi menjadi tiga macam; Shufiyah Al-Haqaiq (Tasauf Ekstensialis), Shufiyah Al-Arzaq (Tasauf Essensialis) dan Shufiyah Al-Rasmi (Tasauf Simbolis).
Mengenai Shufiyah Al-Haqaiq, Ibnu Taimiyah berkata; “Kaum sufi adalah jamaah orang-orang yang jujur dan dipercayai karena kejuhudannya dan ketekunannya dalam beribadah, maka hanya merekalah yang patut mendapat sebutan itu. Dan ada pernyataan seseorang mengatakan, bahwa kaum sufi itu adalah paling jujurnya ulama dan pemerintahan/penguasa, tanpa mengkhususkan pendapatnya kepada kaum sufi yang hidup pada masa Rasulullah (sahabat), kaum sufi dari tokoh tabi’ien atau tabi’it-tabi’ien.
Bila mereka dijuluki sebagai orang-orang yang jujur di Bashrah, maka para ulama fiqih daerah Kufah juga disebut orang-orang yang jujur dari Kufah. Dan mereka semua selalu berhati-hati di dalam menempuh jalan menuju ridha Allah dan Rasul-Nya, sebagai beban tanggung jawab mereka sebagai tokoh yang diteladani kaumnya. Kedua, pandangan Ibnu Taimiyah tentang Shufiah Al-Arzaq. Ia berkata; “Mereka adalah kaum sufi yang sangat berhati-hati di dalam beribadah…” kemudian Ibnu Taimiyah melanjutkan kata-katanya tentang Shufiyah Al-Arzaq; “Mereka adalah kaum sufi yang sebutannya terbatas pada cara berpakaiannya (wool) saja, atau tingkah lakunya dalam pergaulan sebagai contoh teladan bagi pengikut mereka.”
Pandangan Ibnu Taimiyah terhadap Kepribadian Kaum Sufi dan Kitab-Kitab Tasawuf
Ibnu Taimiyah berkata, “Di dalam memahami jalan hidup yang ditempuh kaum sufi, orang-orang ramai yang keliru memandang mereka, bahkan mengecam tasawuf sebagai sumber ilmunya. Orang-orang itu pun berkata; kaum sufi adalah kelompok ahli bid’ah, yakni orang yang ibadahnya menyimpang dari ajaran sunnah Nabi, namun banyak diikuti oleh beberapa aliran, karena mereka mengaku sebagai paling istimewanya makhluk setelah para Nabi.”
Dan Ibnu Taimiyah menyanggah pendapat ini dengan kata-katanya; “Yang benar…, mereka adalah hamba-hamba yang taat kepada Allah untuk mendapatkan ridha-Nya, seperti sahabat Nabi dahulu. Di antara mereka ada yang mendekatkan diri kepada Allah dengan ketekunan ibadahnya, ada pula yang melalui safar (perjalanan musafir). Namun sesekali mereka ada yang keliru melangkah, maka dia bertaubat memohon ampunan atas kesalahannya.” Pada pendapatnya ini Ibnu Taimiyah menjelaskan ruh tasamuh (ramah dan murah hati) kaum sufi dan ahli salaf.
Ibnu Taimiyah akan menerangkan kepada kita tentang beberapa karya tulis sufi yang diantaranya adalah hasil rujukan dari kitab-kitab pendahulu mereka. Ia juga menyebutkan perbedaan-perbedaan yang mesti dibantah dan hadis-hadis dha’if dalam kitab itu. Akan tetapi dari cacat dan kebaikan suatu kitab, kita tidak akan luput dari manfaat yang ada di baliknya.
Suatu waktu, Ibnu Taimiyah pernah diminta komentarnya tentang kitab Ihyaa ‘Ulumuddien, karangan al-Ghazali dan kitab Qutul Qulub (Makanan Hati) karangan Abu Thalib al-Makki. Ia menjawab; “Kitab-kitab itu telah membawa dampak yang cukup besar di dalam membina rasa sabar, syukur, cinta kasih kepada Allah, tawakkal, dan tauhid seseorang. Maka Abu Thalib lebih banyak mengetahui daripadaku mengenai orang yang ahli dalam ilmu hati dari kalangan sufi.”
Setelah itu Ibnu Taimiyah memuji kata-kata al-Makki dan berkata; ” Wawasannya luas sekali dan jauh dari faham bid’ah. Padahal sulit sekali kita dapatkan hadis yang menunjukkan cara pembinaan hati, walaupun ada, itu adalah hadis dha’if dan maudhu’.”
Dan Ibnu Taimiyah menjelaskan, bahwa pembahasan al-Ghazali tentang Al-Mukhlikat (sifat-sifat yang merusak) dalam kitabnya yang berjudul Ihyaa Ulumuddien dipengaruhi oleh Al-Muhasibi melalui karya tulisnya Ar-Ri’ayah li Huquqillah.”
Ibnu Taimiyah berkata: “Sedangkan pembicaraan al-Ghazali tentang sifat-sifat yang merusak ( al-Mukhlikat) dalam kitab Ihyaa Ulumuddiennya seperti sifat sombong, riya, hasud dan lain-lain. Adalah nukilan dari kitab Ri’ayah al-Muhasibi diantara pendapatnya ada yang diikuti, ada yang ditentang dan ada yang menimbulkan berbagai pendapat ulama. Tetapi kitab Ihyaa Ulumuddien banyak mengandung manfaat.”
Ibnu Taimiyah tidak terlalu fanatik dengan karya al-Ghazali itu. Buktinya, Ia menganggap banyak faedah yang terkandung dalam kitab Ihyaa Ulumuddien, tetapi ia berkata; ” Dalam kitab itu ada materi pembahasan yang tercela sungguh di sana terdapat fikiran-fikiran filosof yang merusak tentang tauhid, kenabian, alam akhirat dan lain-lain.
Sampai tokoh Muslimin pun memungkiri karya tulis Abu Hamid. Maka berkata; “Apakah dia berpura-pura sakit?” sebagaimana diucapkan oleh Abu Bakar Ibnu al’Arabi, al-Hafid al-’Iraqi juga menyebutkan beberapa hadis dha’if dalam kitab Ihyaa Ulumuddien.
Barulah kemudian Ibnu Taimiyah berbicara tentang kandungan kitab Ihyaa Ulumuddien yang penuh kebaikan menuju ibadah dan penjelasan sekitar masalah pekerjaan hati, di samping penjelasannya mengenai peranan tokoh sufi yang bijaksana. Ia berkata,”Di dalam kitab Ihyaa Ulumuddien itu terdapat pandangan tokoh sufi yang bijaksana dan alim dalam mengetahui perbuatan-perbuatan hati berdasarkan al-Quran dan Sunnah Nabi.
Karya-Karya Tulis Sufi Ibnu Taimiyah
1. At-Tuhfah al-’Iraqiyah fi A’mal al-Qalbiyah (Kalangan Iraq tentang perbuatan-perbuatan Hati)
Dalam kitab ini Ibnu Taimiyah berkata; “Pembahasan singkat tentang kekuatan (peran) hati dalam kehidupan menusia yang kita sebut dengan ahwal dan maqaamat adalah sebahagian dari dasar kepercayaan dan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakkal, ikhlas, syukur, sabar (menerima takdir Allah), takut (kepada Allah), raja’ (berharap kepada Allah).
Dan akan kita ketahui, bahwa Ibnu Taimiyah sering menggunakan istilah-istilah kaum sufi terdahulu di dalam kitabnya, seperti kata al-maqamat wal-ahwal.” Istilah ini sudah lama dikenal dan dipergunakan oleh mereka.
Di dalam menafsirkan makna al-Maqamat wal-ahwal, Ibnu Taimiyah menyamakannya dengan arti rasa cinta, tawakkal, ikhlas, raja’, takut kepada Allah (khauf) dan syukur. Dan dalam risalahnya ini, ia menjelaskannya secara rinci sebagaimana lazimnya kitab-kitab para sufi.
  • Qaidatul Mahabbah (Dasar Cinta Kasih)
Ibnu Taimiyah adalah seorang sufi yang memiliki rasa cinta. Berikut pernyataannya dalam risalah berjudul “at-Tuhfah al-’Iraqiyah fil A’mal al-Qalibiyah”; “… Adapun langit, bumi dan apa yang berada diantara keduanya, matahari, bulan, gugusan bintang dan lapisan atmosfir serta awan, hujan, juga tumbuh-tubuhan adalah tanda kekuasaan Allah yang dititipkan kepada langit dan bumi yang patuh mengerjakan segala perintah yang dititahkan kepadanya.
Pada akhir risalahnya itu, Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah kita ketahui, bahwa semua gerakan unsur dalam itu adalah bersumber dari rasa cinta kasih kepada sang Khalik (pencipta)”. Dan satu-satunya cara Ibnu Taimiyah mencintai Tuhannya adalah menganut ajaran agama yang diridhai Allah, karena hanya itulah satu-satunya perantara yang akan menyampaikan semua amal baiknya kepada Illahi.
Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa ia setuju dengan pandangan al-Fadhil bi ‘Iyadh tentang sebuah ayat al-Quran: “Agar Dia menguji siapakah di antara kamu sekalian yang lebih amalnya.” (Hud:7)
Kemudian dia melanjutkan; …dengan ikhlas dan benar: Murid-muridnya bertanya; “mengapa mesti ikhlas dan benar?” AL-Fadhil menjawab; “Karena Allah tidak akan menerima perbuatan benar tanpa didasari ikhlas Lillahi Ta’ala, pun sebaliknya Dia tidak meridhai amal yang kamu dasari hati ikhlas sedang itu adalah perbuatan salah, maka amalmu harus didampingi keduanya, ikhlas dan benar”.
Seperti juga Asy-Syubli meriwayatkan, bahwa Ibnu Taimiyah berpandangan …. “rasa cinta harus dibuktikan dengan melaksanakan perintah Allah.” Dan ia mengulang kata-katanya; “rasa cinta itu menuntut dilaksanakannya kewajiban dengan sempurna, dan kesempurnaan cinta kasih akan membawa kepada amal yang sempurna pula. Sedangkan maksiat adalah suatu hal yang mengurangi cintanya seorang hamba.”
Berikut ini Asy-Syubli berpendapat tentang cinta kepada Allah:
“Kamu durhaka kepada Allah, padahal kamu berharap cintanya. Hal itu jelas tidak logik, bila cintamu itu tulus, pastilah kamu mentaatinya. Sesungguhnya orang yang bercinta itu patuh kepada yang dicintainya.”
2. Kitab Al-Istiqamah
Salah satu judul buku sufi Ibnu Taimiyah yang lain adalah “Qaidatun fi Wujubil Istiqamah wal I’tidal (prinsip dasar kejujuran dan keadilan). Setelah mendengar penjelasan Ibnu Taimiyah dalam buku ini, kelompok Mu’tazilah dan Asy’ariyah beserta para pengikutnya mengecamnya dengan ilmu kalam. Namun tidak mudah bagi ulama sufi untuk mengikuti kelompok tersebut, karena telah merasa jemu dengan ilmu kalam mereka, bahkan ketekunannya menelaah karya-karya sufi Ibnu Taimiyah semakin meningkat.
Di dalam bukunya itu pula, Ibnu Taimiyah menulis satu fasal yang merupakan sanggahan terhadap risalah Abu al-Qasim al-Qusyairi. Ibnu Taimiyah berkata: “Ada satu pasal dalam risalah Abu al-Qasim al-Qusyairi yang terkenal itu menyebutkan adanya perpecahan pandangan kaum sufi terhadap ilmu kalam. Dan dia menyatakan sebagian kaum sufi menyokong pada kelompok Asy’ariyah. Itu hanyalah dugaan Abu al-Qasim al-Qusyairi sebagaimana halnya Abu Bakar bin Faruk dan Abu Ishak Al-Asfarayaini. Kemudian Ibnu Taimiyah menambahkan; “Abu al-Qasim itu telah membuat bingung kaum sufi dengan ilmu kalam kelompok Asy’ariyah dan Kilabiyah.”
Seringkali Ibnu Taimiyah menerangkan kedudukan tokoh kaum sufi, bahwa mereka tetap berpegang pada ajaran sunnah Nabi dan sebaliknya menolak pandangan kelompok Kilabiyah dan Asy’ariyah yang menganut faham ilmu kalam. Kata-kata Ibnu Taimiyah ini adalah sindiran kepada al-Qusyairi. Pada akhir kitabnya ini Ibnu Taimiyah lebih banyak menyanggah ilmu kalamnya al-Qusyairi.
Disarikan dari buku Tasawuf Menurut Ibnu Taimiyah karya Dr. Thiblawy Mahmoud Saad
 (Wangsit: Kawulo Semprul, Sumber: http://emka.web.id/)

Sampainya Pahala Untuk Mayit Menurut Ibnu Taimiyah

Dalam kitabnya, Ibnu Taimiyah, soko guru wahabi, ia menjelaskan bahwa sampainya pahala bacaan yang dihadiahkan pada mayit.
وسئل: عمن هلل سبعين ألف مرة، وأهداه للميت يكون براءة للميت من النار حديث صحيح أم لا‏؟‏ وإذا هلل الإنسان وأهداه إلى الميت يصل إليه ثوابه، أم لا‏؟‏ فأجاب‏: إذا هلل الإنسان هكذا‏:‏ سبعون ألفاً، أو أقل، أو أكثر، وأهديت إليه، نفعه الله بذلك، وليس هذا حديثا صحيحاً، ولا ضعيفاً‏.‏ والله أعلم‏.‏ مجموع فتاوى ابن تيمية
“Syaikh Ibnu Taimiyah ditanya (oleh seseorang) tentang orang yang membaca tahlil 70.000 kali dan menghadiahkannya kepada mayit agar menjadi tebusan baginya dari neraka, apakah hal ini hadits shahih atau tidak?. Dan apabila sseorang membaca tahlil lalu dihadiahkan kepada mayit, apakah pahalanya sampai atau tidak?” Beliau menjawab, “Apabila seseorang membaca tahlil sekian; 70.000 atau kurang, dan atau lebih, lalu dihadiahkan kepada mayit, maka hadiah tersebut bermanfaat baginya, dan ini bukan hadits shahih dan bukan hadits dha’if. Wallahu a’lam (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 24 hal. 323)
قال شيخ الأسلام تقيالدّين احمد بن تيمية في فتاويه، الصّيحح أن الميّت ينتفع بجميع العبادات البدنية من الصّلاة والصّوم والقراءة كما ينتفع بالعبادات الماليّة من الصّدقة ونحوها باتّفاق الأئمّة وكمالودعي له واستغفرله – حكم الشريعة الإسلاميّة فى مأتم الأربعين ٣٦
“Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan dalam kitab Fatawa-nya bahwa pendapat yang benar dan sesuai dengan kesepakatan para imam adalah bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah badaniyyah seperti shalat, puasa, membaca alQur’an, ataupun ibadah maliyah seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku untuk orang yang berdo’a dan membaca istighfar untuk mayit. (Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi Ma’tam al-Arba’in, 36)

Ibnu Taimiyah Menganggap Baik Maulid Nabi

Sebetulnya, kalau wahabi mau menelaah ulang kitab para pendahulunya, seperti Ibnu Taimiyah sebagai tokoh sentral mereka. Mereka akan sadar bahwa Ibnu Taimiyah sendiri tidak se-ekstrem kaum salafi sekarang. Peringatan maulid misalnya, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa merayakan maulid dengan dasar cinta Nabi Saw. adalah bernilai pahala. Kaum wahabi berpendapat sebaliknya. Mereka mengatakan perbuatan itu sebagai bid’ah, kurafat, dan pengkultusan yang ujung-ujungnya adalah syirik.

Bagi masyarakat Muslim, jika ada kelompok yang suka menyalahkan, mencaci-maki dan membid’ahkan amalan-amalan ahlussunnah, cukuplah dijawab dengan dalil-dalil imam mereka sendiri, yang akan kita bahas satu persatu. Dijamin, mereka bakal kelabakan dan diam seribu bahasa. Sebab, nyatanya mereka melabrak pendapat-pendapat para imam mereka sendiri.

Peringatan maulid Nabi Saw. itu tergolong bid’ah hasanah. Peringatan semacam ini sudah ditradisikan sejak ratusan tahun lalu. Peringatan ini merupakan kesepakatan yang dilakukan oleh raja-raja, para ulama’, masayikh. Termasuk para ahli hadits, pakar fikih, orang-orang zuhud, para ahli ibadah dan berbagai individu dari kalangan awam. 

Di samping itu, peringatan ini punya dasar kuat yang diambil dengan cara istinbath seperti telah dijelaskan Imam al-Hafid Ibnu Hajar dan para ulama ahlussunnah lainnya.

Diantara bidah dan kesesatan para penentang tawassul, mereka mengharamkan maulid dengan ekstrem. Bahkan seorang tokoh mereka, Abubakar Aljazairi –semoga Allah memberinya petunjuk- menyatakan, sembelihan yang disediakan untuk suguhan maulid lebih haram dari babi. Wal iyadzu billah, semoga Allah melindungi kita dari membenci Rasulillah Saw.

Begitu antinya mereka terhadap maulid. Namun yang menarik, Ibnu Taimiyah sendiri tidak mengharamkan, bahkan dalam sebagian fatwanya dia katakan, “Jika maulid dilaksanakan dengan niat baik akan membuahkan pahala,” artinya sah-sah saja dilakukan.

Marilah kita simak kitab Iqtidha’ as-Sirath al-Mustaqim karya seorang filosof mujassim Ahmad ibn Taimiyah (meninggal tahun 728 hijriah) cet. Darul Fikr Lebanon th.1421 H. Pada hal.269 Ibnu Taimiyah berkata,
فتعظيم المولد ، واتخاذه موسمًا ، قد يفعله بعض الناس ، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده ، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم
“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutinan, segolongan orang terkadang melakukannya. Dan mereka mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah Saw..”

Jika semua ini telah jelas, maka bersama siapakah kelompok sempalan wahabi ini? Mereka tidak bersama ahlussunnah wal jamaah. Tidak pula bersama tokohnya, Ibnu Taimiyah. Sepatutnya mereka mencela diri mereka sendiri, dan bertaubat dari kesesatan mereka selama masih ada kesempatan. Cukuplah sebagai kehinaan, penilaian buruk mereka terhadap hal yang telah disepakati kaum muslimin berabad-abad di penjuru timur dan barat bumi.

Segala puji bagi Allah yang telah memberi kita taufiq untuk menjelaskan hal ini. Semoga salawat dan rahmat Allah tetap tercurah atas Rasulullah Saw..

Video berikut akan memperjelas buktinya:

Ibnu Taimiyah Membolehkan Dzikir Berjama’ah dan Tahlilan

Tahlilan adalah sebuah tradisi ritual yang komponen bacaannya terdiri dari beberapa ayat al-Qur’an, tahlil, tasbih, tahmid, sholawat, dan lain-lain. Bacaan tersebut dihadiahkan kepada orang-orang yang telah wafat. Hal tersebut terkadang dilakukan secara bersama-sama (berjama’ah). Hal inilah yang membuat kita berseberangan dengan paradigma kaum salafi wahabi yang menyatakan bahwa amaliah semacam ini dikatakan bid’ah sesat dan pelakunya masuk neraka. Bahkan kami temui sebuah artikel dari wahabi yang mengatakan sesatnya dzikir berjama’ah ala Ust. Arifin Ilham. Tudingan yang semacam ini tentunya tidak tepat, karena tradisi tahlilan dan dzikir berjama’ah yang berkembang di nusantara ini memiliki landasan-landasan dalil dari al-Quran dan Sunnah.

Pengikut Wahabi sepertinya tidak tahu (atau mungkin lupa) mengenai fatwa Syaikh Ibnu Taimiyah (Ulama yang menjadi rujukan utama kaum salafi wahabi) yang menganggap dzikir berjama’ah dan tahlilan termasuk amal ibadah yang paling utama dan sangat besar pahalanya!.
Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berkata :
وَسُئِلَ عن رجل ينكر على أهل الذكر يقول لهم‏:‏ هذا الذكر بدعة وجهركم فى الذكر بدعة، وهم يفتتحون بالقرآن ويختتمون، ثم يدعون للمسلمين الأحياء والأموات، ويجمعون التسبيح والتحميد والتهليل والتكبير والحوقلة، ويصلون على النبى صلى الله عليه وسلم، والمنكر يعمل السماع مرات بالتصفيق، ويبطل الذكر فى وقت عمل السماع‏؟‏
فأجاب‏:‏
الاجتماع لذكر الله، واستماع كتابه، والدعاء عمل صالح وهو من أفضل القربات والعبادات فى الأوقات‏.‏ ففى الصحيح عن/ النبى صلى الله عليه وسلم أنه قال‏:‏ ‏(‏إن للَّه ملائكة سياحين فى الأرض، فإذا مروا بقوم يذكرون الله، تنادوا هلموا إلى حاجتكم‏)‏ وذكر الحديث، وفيه ‏(‏وجدناهم يسبحونك ويحمدونك‏)‏‏.‏ لكن ينبغى أن يكون هذا أحياناً فى بعض الأوقات، والأمكنة، فلا يجعل سنة راتبة يحافظ عليها إلا ما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم المداومة عليه فى الجماعات‏:‏ من الصلوات الخمس فى الجماعات، ومن الجمعات، والأعياد، ونحو ذلك‏.‏
وأما محافظة الإنسان على أوراد له من الصلاة، أو القراءة، أو الذكر، أو الدعاء، طرفى النهار وزلفاً من الليل، وغير ذلك، فهذا سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم والصالحين من عباد الله قديما وحديثاً، فما سن عمله على وجه الاجتماع كالمكتوبات، فعل كذلك‏.‏ وما سن المداومة عليه على وجه الانفراد من الأوراد، عمل كذلك، كما كان الصحابة ـ رضى الله عنهم ـ يجتمعون أحياناً، يأمرون أحدهم يقرأ، والباقون يستمعون‏.‏ وكان عمر بن الخطاب يقول‏:‏ يا أبا موسى ذكرنا ربنا، فيقرأ وهم يستمعون، وكان من الصحابة من يقول‏:‏ اجلسوا بنا نؤمن ساعة، وصلى النبى صلى الله عليه وسلم بأصحابه التطوع فى جماعة مرات، وخرج على الصحابة من أهل الصفة، وفيهم قارئ يقرأ، فجلس معهم يستمع‏.‏
/وما يحصل عند السماع والذكر المشروع من وجل القلب، ودمع العين، واقشعرار الجسوم، فهذا أفضل الأحوال التى نطق بها الكتاب والسنة‏.‏
وأما الاضطراب الشديد، والغشى والموت والصيحات، فهذا إن كان صاحبه مغلوبا عليه، لم يُلَم عليه، كما قد كان يكون فى التابعين ومن بعدهم‏.‏ فإن منشأه قوة الوارد على القلب مع ضعف القلب‏.‏ والقوة، والتمكن أفضل، كما هو حال النبى صلى الله عليه وسلم والصحابة، وأما السكون، قسوة وجفاء، فهذا مذموم لا خير فيه‏.‏
وأما ما ذكر من السماع، فالمشروع الذى تصلح به القلوب، ويكون وسيلتها إلى ربها بصلة ما بينه وبينها، هو سماع كتاب الله الذى هو سماع خيار هذه الأمة، لاسيما وقد قال صلى الله عليه وسلم‏:‏ ‏(‏ليس منا من لم يتغن بالقرآن‏)‏ وقال‏:‏ ‏(‏زَيِّنوا القرآن بأصواتكم‏)‏ وهو السماع الممدوح فى الكتاب والسنة‏.‏ لكن لما نسى بعض الأمة حظاً من هذا السماع الذى ذكروا به، ألقى بينهم العداوة والبغضاء، فأحدث قوم سماع القصائد والتصفيق والغناء مضاهاة لما ذمه الله من المكاء والتصدية، والمشابهة لما ابتدعه النصارى‏.‏ وقابلهم قوم قست قلوبهم عن ذكر الله، وما نزل من الحق، وقست قلوبهم فهى كالحجارة أو أشد قسوة مضاهاة لما عابه الله على اليهود‏.‏ والدين الوسط هو ما عليه خيار هذه الأمة قديماً وحديثاً‏.‏ والله أعلم‏.‏
Ibnu Taimiyah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengingkari ahli dzikir, dimana ia memprotes ahli dzikir (berjama’ah) “Ini dzikir bid’ah dan menyaringkan suara didalam dzikir kalian juga bid’ah”. Mereka (ahli dzikir) memulai dan menutup dzikirnya dengan membaca al-Qur’an, kemudian mereka berdo’a untuk kaum muslimin yang hidup maupun yang sudah wafat, mereka mengumpulkan antara bacaan tasybih, tahmid, tahlil, takbir, hawqalah (Laa Hawla wa Laa Quwwata Ilaa Billah), mereka juga bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jawab: Berkumpul untuk dzikir kepada Allah, mendengarkan Kitabullah dan do’a merupakan amal shalih, dan itu termasuk dari paling utamanya qurubat (amal mendekatkan diri kepada Allah) dan paling utamanya ibadah-ibadah pada setiap waktu, didalam hadits Shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang selalu bepergian di bumi, ketika mereka melewati sebuah kaum (perkumpulan) yang berdzikir kepada Allah, mereka (para malaikat) berseru : “Silahkan sampaikan hajat kalian”. Dan disebutkan di dalam hadits tersebut, terdapat redaksi “Dan kami menemukan mereka bertasbih kepada-Mu dan bertahmid memuji-Mu”, akan tetapi selayaknya hal ini di hidupkan kapan saja dan dimana saja, tidak dijadikan sebagai sunnah ratibah yang dirutinkan kecuali apa yang disunnahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berketerusan dalam jama’ah seperti shalat 5 waktu (dilakukan) dalam jama’ah, hari raya dan semisalnya. Adapun umat Islam memelihara rutinitas wirid-wirid baginya seperti shalawat atau membaca al-Qur’an, atau mengingat Allah atau do’a pada seluruh siang dan sebagian malam atau pada waktu lainnya, maka hal ini merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang shalih dari hamba-hamba Allah sebelumnya dan sekarang. (Majmu’ al-Fatawa [22/520-521])
Khusus mengenai menghadiahkan pahala kepada mayit, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barangsiapa mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahli bid’ah. Dalam Majmu’ fatawa jilid 24 halaman 306 ia menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama Islam, dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah, dan ijma’ (konsensus) ulama’. Barang siapa menentang hal tersebut, maka dia termasuk ahli bid’ah”.
Dengan demikian apakah kaum Salafi Wahabi berani mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah yang menganjurkan tahlilan dan dzikir berjama’ah termasuk ahli bid’ah dan masuk neraka? ^_^

Sorotan Ulama’ Tentang Pribadi Ibnu Taimiyah

Dahulu di zaman Rasulullaah SAW. kaum muslimin dikenal bersatu, semua berpadu di bawah pimpinan dan komando Rasulullah SAW. Jika terdapat masalah atau terjadi perselisihan pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah SAW, dan itulah  yang membuat para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi.
.
Kemudian setelah  Rasulullah SAW. wafat, benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Imam Ali bin abi tholib menjadi khalifah. Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik belaka, sementara akidah mereka tetap satu yaitu akidah Islamiyah, meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh ibnu Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai pelopor ideology Saba’iyyah yang identik dengan Syi’ah. Pada waktu itu paham yang paling menyesatkan adalah mereka meyakini bahwa Ali bin Thalib adalah tuhan. Aliran mereka dikenal dengan Khattabiyyah. Para ulama tidak mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah tokoh fiktif, sebagaimana pendapat kelompok Syi’ah Imamiyyah Itsna ‘Asyariyah. Mereka cenderung melaknat Abdullah bin Saba’ yang seorang yahudi. Tentu saja sikap mereka ini dapat dipahami alasannya, yaitu pengakuan mereka akan eksistensi Abdullah bin saba’ secara tidak langsung akan menimbulkan persepsi bahwa ajaran mereka merupakan akulturasi dan asimilasi dengan agama Yahudi (Ashl al-Syi’ah Wa ushuluha hal 17, Abdullah Bin Saba’ Fi nasj al-Khayal).
.
Setelah para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah semakin membesar, sehingga timbullah bermacam sekte ideologi yang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW. Saat itu muslimin terpecah dalam dua kelompok besar, satu bagian dikenal sebagai golongan-golongan ahli bid’ah atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam seperti Mu’tazilah, Syiah (Rawafid), Khowarij dan lain-lain. Sedang bagian yang satu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan turots yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah SAW. bersama sahabat-sahabatnya.
.
Namun pada abad ke 6 hijriyah sekitar tahun 661 hijriyah lahirlah seorang ulama terkemuka pada zamannya ahmad bin abdul halim bin abdus salam bin taimiyah yang lebih popular dengan nama ibnu taimiyah al harroni yang telah menjadi sosok kontroversional diantara para ulama dari berbagai lapisan empat madzhab baik di zamannya maupun ulama yang datang setelahnya dan tak jarang produk pemikirannya pun menjadi ajang polemik diantara ulama terutama yang bekaitan dengan masalah aqidah sehingga beliau sering menikmati kehidupannya di dalam jeruji besi, beliau dalam menyampaikan gagasan-gagasannya tidak hanya menyalahi ulama zamannya bahkan keberanian beliau sampai pada mukholafatul ijma’ (menyalahi ijma’ ulama) hal itu lah yang membuat beliau berada dalam buruan para ulama.
.
Produk pemikiran beliau yang menjadi kontroversi para ulama di zamannya terjadi pada tahun 698 hijriyah,awal mula beliau menyuguhkan pemikiran dan fatwa-fatwa yang popular dengan masalah alhamawiyah dan hal ini membuat beberapa fuqoha zamannya turut membahasnya dan mereka melarang beliau untuk berbicara,kemudian disusul oleh al qodi imamuddin alquzwaini  yang langsung memasukkan beliau ke dalam jeruji besi dan al qodi memmberikan pernyataan “barang siapa yang mengambil fatwanya ibnu taimiyah maka kami akan menta’zirnya (menghukumnya).
.
Selang beberapa waktu kemudian tepatnya pada tahun 705 hijriyah beliau kembali menghebohkan dunia islam dengan fatwanya yang membuat dirinya menjalani kehidupan penjara lagi, dan pada tahun 709 hijriyah akhirnya beliau dipindahkan ke iskandariyah dan tidak sampai situ saja di sana pun beliau juga menyuguhkan gagasan dan fatwa-fatwa yang di permasalahkan oleh ulama setempat,begitulah seterusnya seputar perjalanan hidup ibnu taimiyah yang sering kali keluar masuk penjara dalam beberapa kasus dan terkadang beliau terkesan tidak kosekwen dengan pernyataannya kadang beliau mengaku bermadzhab hambali namun pada kesempatan lain beliau mengaku bemadzhab safi’i sebagaimana hal itu di ungkapkan oleh al hafid ibnu hajar al asqollani dalam kitab addurorul kaaminah hal 88-98.
.
Oleh karena itu dari masa ke masa ulama selalu mengontroversikan pola pemikiran ibnu taimiyah muai dari ulama madzhab sampai ulama kalam bahkan beberapa muridny pun ikut andil dalam membicarakan sosok ibnu taimiyah seperti imam ibnu kastir dan imam addzahaby, maka tak heran kalau ibnu taimiyah menjadi ajang pembicaraan para ulama ahlus sunnah akan tetapi perlu di ingat juga bahwa imam ibnu taimiyah tidak selamanya seperti itu pada akhirnya pun beliau bertaubat atas semua ideologinys dan mrngikti ideology yang dikembangkan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari hal ini ditandai dengan pernyataan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa:
ألأشاعرة أنصار أصول الدين والعلمار انصار علوم الدين
“Para pengikut Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah penolong “Ushul” (pokok-pokok) agama, sedangkan para ulama adalah penolong ilmu-ilmu agama”.
 
 kemudian beliau mengangkat kitab-kitab yang bermadzhab as’ary sebagai simbol bahwasannya dia adalah pengikut as’ary sebagaimana yang ara di riwayatkan oleh al hafid ibnu hajar  dalam kitab addurorul kaaminah hal 148 dan hal itu juga disaksikan oleh ulama zamannya yang berkompeten As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733 H dalam kitab Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab juz 32 hal 115-116.
 
“Keilmuan” Ibnu Taimiyah
ibnu taimiyah dilahirkan pada tahun 661 H beliau tumbuh dengan kecerdasan yang luar biasa. mula-mula dia belajar pada ibnu abi daim, muslim bin allan dan ibnu abi amar dan dengan bekal kecerdasan yang tinggi beliau mampu mengalahkn yang lainnya dan imam addzahabi penah bercerita bahwa ibnu taymiyah sudah mempunyai kompetensi bermunadzoroh (berdebat) sebelum masa baligh dan mampu mengajar, mengarang serta berfatwa bahkan ketika umurnya belum memasuki 20 tahun (addurorul kaaminah hal 95). al hafid ibnu hajar pernah berbica panjang tentang kehebatan ibnu taimiyah melalui tulisan muridnya al hafid dzahabi, menurut addzahabi ibnu taimiyah mampu mentarjih dan membedakan argument yang kuat dalam masalh khilafiyah dan jarang sekali ku temukan seorang yang lebih cepat diri ibnu taimiyah dalam berargumen baik dengan ayat-ayat al qur’an maupu hadist seakan akan semua itu berada di depan dan di ujung lidahnya addurorul kaaminah hal 19 maka tak heran kalau ibnu taimiyah mampu mengkader dan menciptakan ulama-ulama yang hebat seperti al hafid ibu kastir,al hafid dzahabi,ibnu abdul hadi,samsuddin abu abdillah yang popular dengan ibnu jauzi,alhafid abu hajjaj yusuf bin abdurahman al mizzi.
.
Sorotan Ulama’ Tentang Pribadi Ibnu Taimiyah
قال المحدث الحافط الفقيه ولي الدين  العراقي إبن الشيخ زين الدين العراقي : إنه خرق الإجماع في مسائل كثيرة قيل تبلغ ستين مسألة بعضها في الأصول و بعضها في الفروع خالف فيها بعد انعقاد الإجماع عليها (الأجوبة الميضيةعلي المسألة المكية)
“seorang ahli hadist yang mendapat gelar al hafid al faqih waliuddin al iroqi putra dari shyaih zainuddin al iroqi berkata :sesungguhnya ibnu taimiyah telah keluar dari ijma’ ulama dalam berbagai masalah , dikatakan  mencapai 60 per masalahan , sebagian mengenai aqidah dan sebagian lainnya mengenai furu’, ia telah menyalahi permasalahan- permasalahan yang telah di sepakati oleh ulama’(al ajwibah al mudiah alal mas alatil maakiyah)
 
Hal sama juga di serukan oleh ibnu hajar al haitami sebagai berikut
Syakh ibnu hajar berkata dengan menukil semua permasalahan ibnu taimiyah yang menyalahi kesepakatan ulama’ yaitu :
Ibnu Taimiyyah telah berpendapat , bahwa Alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Swt bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar.

Ibnu taimiyah juga berkeyakinan akan adanya jisim pada dzatnya allah SWT ,arah dan perpindahan, dan dia juga berkeyakinan bahwa allah tidak lebih kecil atau lebih besar dari arsy, sungguh allah maha suci dari kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (al fatawa al hadisiyah 116)

Dalam kesempatan yang lain beliau juga menyinggung ibnu taimiyah serta muridnya sebagai berikut:
“maka berhati hatilah kamu dan jangan sampai mendengarrkan apa yang di tulis oleh ibnu taimiyah dan muridnya ibnu qoyyim dan lainnya dari orang- orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan allah telah menyesatkan nya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjadikan penghalang atas pandangannya”.(al fatawa al haditsiyah 203)
 
Seorang ulama besar Syaikh Abu Al-Hasan Ali Ad-Dimasyqi berkata dari ayahnya bahwasanya beliau bercerita
“ Ketika kami sedang duduk di majlis Ibnu Taimiyyah, dan ia berceramah hingga sampai pada pembahasan ayat Istiwa, ia berkata Allah Swt beristiwa di atas arasy-Nya seperti istiwaku ini “,(al maqoolat assuniyah 36)
 
Hal yang sama juga di ungkapkan oleh al hafid taqyuddin assubuky dalam kitab adduroru al mudhi’ah hal 2-3bahwa ibnu taimiyah telah membuat hal yang baru dalam masalah aqidah dan menghancurkan pondasi serta aqidah islam setelah dia mengaku masih mengikuti ajaran al qur’an dan hadist dam mengaku selalu mengajak kepada kebenaran kemudian dia keluar dari semuanya itu dan memciptakan sesuatu yang bid’ah dengan menyalahi semua ijma’ ulama’”
 
Al imam yaafi’I juga berkomentar “bahwa barang siapa yang mengikuti ajaran ibnu taimiyah maka halal darah dan hartanya” sebagaimana di kutib dari kitab( mir’atul janaan)
 
Al hafid ibnu hajar al asqollani juga berpendapat bahwa sebagian ulama ada yang menisbahkan ibnu taimiyah kepada kenifakan dan sebagian ulama juga menisbahkan ibnu taimiyah pada kezindikan (adduroru al kaminah)
 
Bahkan murid beliau sendiri al hafid addzahabi ikut andil dalam menyikapi pribadi beliau dan mengingatkan beliau agar berhenti menyerukan faham-faham estrim dan batilnya serta berhenti dari kebiasaan mencaci maki ulama’ soleh terdahulu maka dari itu al hafid addzahabi terdorong untuk menulis kitab yang bejudul an nasihah ad dzahabiyah li ibni taimiyah
Tidak hanya itu saja, bahkan sekitar 90 ulama besar yang telah mengkritisi produk pemikiran beliau yang dimanifestasikan dalam bentuk kitab-kitab klasik.
 
Penulis : ahmad maydin
Editor : amiruddin fahmi

Ibnu Taimiyah Memuji Amalan Nishfu Sya’ban


Ibnu Taimiyah mengkhususkan amalan pada nishfu Sya’ban dan memujinya: Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ Fatawa pada jilid 24 halaman 131 mengenai amalan Nishfu Sya’ban sebagai berikut:
إذا صلَّى الإنسان ليلة النصف وحده أو في جماعة خاصة كما كان يفعل طوائف من المسلمين فهو: حَسَنْ
Artinya: Apabila seorang itu menunaikan sholat pada malam Nishfu Sya’ban secara individu atau berjamaah secara khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebilangan masyarakat Islam maka hal itu adalah Baik“. 

Lihat bagaimana Ibnu Taimiyah sendiri memuji siapa yang menghidupkan amalan khusus pada malam Nishfu Sya’ban yaitu dengan menunaikan sholat sunnah pada waktu itu baik secara perseorangan mau pun secara ber- jama’ah, Ibnu Taimiyah menyifatkan amalan khusus itu sebagai Hasan/ Baik.

Pada halaman 132 dikitab yang sama itu, Ibnu Taimiyyah mengakui adanya hadits yang mengkhususkan untuk ibadah sholat malam Nishfu Sya’ban:

وأما ليلة النصف – من شعبان – فقد رُوي في فضلها أحاديث وآثار ، ونُقل عن طائفة من السلف أنهم كانوا يصلون فيها، فصلاة الرجل فيها وحده قد تقدمه فيه سلف وله فيه حجة (( فلا ينكر مثل هذا )) ، أما الصلاة جماعة فهذا مبني على قاعدة عامة في الاجتماع على الطاعات والعبادات

Artinya: “(Berkenaan malam Nishfu Sya’ban) maka telah diriwayatkan mengenai kemuliaan dan kelebihan Nishfu Sya’ban dengan hadits-hadits dan atsar, di nukilkan dari golongan Salaf (orang-orang dahulu) bahwa mereka menunaikan sholat khusus pada malam Nishfu Sya’ban, sholatnya seseorang pada malam itu secara perseorangan sebenarnya telah dilakukan oleh ulama Salaf dan dalam perkara tersebut terdapat hujjah/dalil maka jangan di-ingkari, manakala sholat secara jama’ah (pada malam nishfu sya’ban) adalah dibina atas hujah/ dalil kaedah pada berkumpulnya manusia dalam melakukan amalan ketaatan dan ibadat”. Dalam kitabnya Iqtido’ As-sirot Al-Mustaqim pada halaman 266 beliau mengatakan yang artinya:
ليلة النصف مِن شعبان. فقد روي في فضلها من الأحاديث المرفوعة والآثار ما يقتضي: أنها ليلة مُفضَّلة. وأنَّ مِن السَّلف مَن كان يَخُصّها بالصَّلاة فيها، وصوم شهر شعبان قد جاءت فيه أحاديث صحيحة. ومِن العلماء من السلف، من أهل المدينة وغيرهم من الخلف: مَن أنكر فضلها ، وطعن في الأحاديث الواردة فيها، كحديث:[إن الله يغفر فيها لأكثر من عدد شعر غنم بني كلب] وقال: لا فرق بينها وبين غيرها. لكن الذي عليه كثيرٌ مِن أهل العلم ؛ أو أكثرهم من أصحابنا وغيرهم: على تفضيلها ، وعليه يدل نص أحمد – ابن حنبل من أئمة السلف – ، لتعدد الأحاديث الواردة فيها، وما يصدق ذلك من الآثار السلفيَّة، وقد روي بعض فضائلها في المسانيد والسنن
Artinya: “(Malam Nishfu Sya’ban) telah diriwayatkan mengenai kemuliaannya dari hadits-hadits Nabi dan pada kenyataan para sahabat telah menjelaskan bahwa itu adalah malam yang mulia dan dikalangan ulama As-Salaf yang meng- khususkan malam Nishfu Sya’ban dengan melakukan sholat khusus padanya dan berpuasa bulan Sya’ban, ada pula hadits yang shohih. Ada dikalangan Salaf (orang yang terdahulu), sebagian dari ahli Madinah dan selain mereka sebagian dikalangan Khalaf (orang belakangan) yang mengingkari kemuliannya dan menyanggah hadits-hadits yang diriwayatkan padanya seperti hadits: ‘Sesungguhnya Allah swt. mengampuni padanya lebih banyak dari bilangan bulu kambing bani kalb’. Akan tetapi disisi kebanyakan ulama ahli Ilmu atau kebanyakan ulama Madzhab kami dan ulama lain adalah memuliakan malam Nishfu Sya’ban, dan yang demikian adalah kenyataan Imam Ahmad bin Hanbal dari ulama Salaf, karena cukup banyak hadits yang menyatakan mengenai kemuliaan Nishfu Sya’ban, begitu juga hal ini benar dari kenyataan dan kesan-kesan ulama As-Salaf, dan telah dinyatakan kemuliaan Nishfu Sya’ban dalam banyak kitab hadits Musnad dan Sunan”. Demikianlah pendapat Ibnu Taimiyyah mengenai bulan dan malam Nishfu Sya’ban.

Jelas sebagai bukti bahwa Ibnu Taimiyah sendiri mengakui dan tidak mengingkari kebaikan amalan khusus pada nishfu Sya’ban termasuk didalamnya sholat sunnah. Belliau juga mengatakan bahwa amalan ibadah pada malam nishfu Sya’ban dikerjakan oleh para Salaf. Tetapi sayangnya golongan peng- ingkar yang mengaku sebagai penerus akidah Ibnu Taimiyyah ini telah meng haramkan dan membid’ahkan mungkar amalan dalam bulan dan nishfu Sya’ban ini? Mereka hanya menyebutkan kata-kata Ibnu Taimiyyah yang sepaham dengan mereka tetapi kata-kata Ibnu Taimiyyah yang tidak sepaham, mereka kesampingkan! Apakah mereka ini juga berani membid’ahkan mungkar Ibnu Taimiyyah? Apakah mereka ini akan merubah atau mengarti kan kata-kata Ibnu Taimiyah yang sudah jelas tersebut –sebagaimana kebiasaan mereka– sampai sesuai dengan paham mereka? 

Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabi’in di negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan dan Makhul telah berjuhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nishfu sya’ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan. Selanjutnya Al-Qasthalany berkata perbedaan pendapat para ulama Syam hanya dalam bentuk cara ibadah pada malam nishfu Sya’ban. Ada yang mengamalkan dimasjid secara berjama’ah yaitu pendapat Khalid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir dan disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih. Ada lagi yang mengamalkan sendiri-sendiri dirumah atau ditempat lainnya, pendapat ini disetujui oleh Al-Auza’i dan para ulama Syam umumnya!!

Masih banyak lagi pendapat para ulama yang membolehkan amalan ibadah khusus pada malam nishfu Sya’ban karena merupakan amalan kebaikan yang taqarrub/ mendekatkan diri kepada Allah swt. Dengan demikian para ulama salaf dari zaman dahulu sampai zaman sekarang telah mengakui adanya amalan-amalan ibadah pada malam nishfu Sya’ban. Wallahu A’lam

Ibnu Taimiyah dan Yahudi

Al Hafidz Abu Sa’id al ’Ala-i[1] guru dari al Hafidz al Iraqi menyebutkan sebagaimana diriwayatkan oleh al Hafidz muhaddits dan pakar sejarah Syamsuddin ibn Thulun[2] dalam kitabnya Dzakha-ir al Qashr hal. 96 dalam bentuk manuskrip dari Ibn Taimiyah bahwasanya ia mengatakan: “Sesungguhnya Taurat tidak dirubah lafadz-lafadznya tetapi ia masih tetap sebagaimana ia diturunkan, hanya saja terjadi penyimpangan pada penafsirannya”. Ibn Taimiyah menulis kitab tentang masalah ini.
Syekh Muhammad Zahid al Kautsari[3] dalam kitab al Isyfaq ‘Ala Ahkami al Thalaq cetakan Dar Ibn Zaidun hal. 72 mengatakan:


“Apabila kita katakan bahwa Islam belum pernah diuji dengan orang yang lebih berbahaya dari Ibn Taimiyah dalam memecah belah umat Islam, yaitu mudah dan memberi toleransi kepada Yahudi yang mengatakan tentang kitab-kitab mereka bahwasanya lafadznya tidak ada penyelewengan”.
~~~~

Kebohongan Ibn Taimiyah Dalam Penisbatan Aqwal

Ibnu Taimiyah dalam karya-karyanya selalu menisbatkan pendapatnya kepada para ulama Salaf, ahli hadits, a-immah as-Sunnah secara umum tanpa menyebut nama. Kadang ia nisbatkan kepada para imam madzhab empat atau sebagian ulama madzhab empat dengan atau tanpa menyebut nama. Seringkali Ibnu Taimiyah sengaja menyebutnya secara global tanpa menyebut nama karena memang dia tidak bisa membuktikan hal itu, dan sering dia menyebut beberapa nama dan pada kenyataannya nama yang disebut tidak terbukti berpendapat sama dengan Ibnu Taimiyah. Ini semua dilakukan untuk propaganda, pengelabuan agar orang mengikuti pendapatnya.


Sebagai contoh:
[1] Ibnu Taimiyah menyebutkan pendapatnya bahwa meyakini adanya hawa-dits la awwala laha adalah pendapat para ahli hadits dari kalangan ashhab asy-Syafi’i, Ahmad dan semua kelompok tanpa menyebut nama 
[2] Ibnu Taimiyah menyebutkan pendapatnya bahwa Allah berbicara dan diam adalah pendapat a-immah as-Sunnah,
[3] Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya menyebutkan pendapat mereka bahwa neraka akan punah adalah pendapat Umar bin al Khaththab, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Abu Sa’id dan lainnya.

Syekh Abdullah al Harari menegaskan:[4]

فَانْظُرُوْا كَيْفَ افْتَرَى كَعَادَتِهِ هذِهِ الْمَقُوْلَةَ الْخَبِيْثَةَ عَلَى أَئِمَّةِ الْحَدِيْثِ، وَهذَا شَىْءٌ انْفَرَدَ بِهِ وَوَافَقَ بِهِ مُتَأَخِّرِيْ الفَلاَسِفَةِ، لكِنَّهُ تَقَوَّلَ عَلَى أَئِمَّةِ الْحَدِيْثِ وَالفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِمْ وَافْتَرَى عَلَيْهِمْ، وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنْهُمْ ذلِكَ لكِنْ أَرَادَ أَنْ يُرَوِّجَ عَقِيْدَتَـهُ الْمُفْتَرَاةَ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَى ضِعَافِ الأَفْهَامِ، وَيَرْبَأُ بِنَفْسِهِ عَنْ أَنْ يُقَالَ إِنَّهُ وَافَقَ الفَلاَسِفَةَ فِي هذِهِ العَقِيْدَةِ.

“Lihatlah bagaimana Ibnu Taimiyah berdusta seperti kebiasaannya menisbatkan pendapat yang keji ini kepada para ulama hadits, padahal pendapat ini (pendapatnya bahwa jenis alam azali) adalah pendapat pribadinya dan dalam hal ini ia sependapat dengan generasi akhir para filsuf, akan tetapi ia menisbatkan itu kepada para ulama hadits dan fiqh  dari kalangan ashhab asy-Syafi’i, Ahmad dan lainnya dan berdusta terhadap mereka, padahal tidak ada seorang-pun di antara mereka yang berpendapat seperti itu, tetapi Ibnu Taimiyah ingin memasarkan akidahnya yang dusta itu di antara kaum muslimin yang lemah pemahamannya dan enggan untuk disebut bahwa ia menyamai para filsuf dalam akidah ini.”

Syekh Abdullah al Harari juga menegaskan:[5]

“أَقُوْلُ: فَلاَ يَغْتَـرَّ مُطَالِعُ كُتُبِهِ بِنِسْـبَةِ هذَا الرَّأْيِ الفَاسِدِ إِلَى أَئِمَّةِ أَهْلِ السُّـنَّةِ وَذلِكَ دَأْبُـهُ أَنْ يَنْسِبَ رَأْيَـهُ الَّذِيْ يَرَاهُ وَيَهْوَاهُ إِلَى أَئِمَّةِ أَهْلِ السُّـنَّةِ، وَلْيَعْلَمِ النَّاظِرُ فِي مُؤَلَّفَاتِـهِ أَنَّ هذَا تَلْبِيْسٌ وَتَمْوِيْهٌ مَحْضٌ يُرِيْدُ أَنْ يُرَوِّجَهُ عَلَى ضُعَفَاءِ العُقُوْلِ الَّذِيْنَ لاَ يُوَفِّقُوْنَ بَيْنَ العَقْلِ وَالنَّقْلِ.”

“Saya berkata: Janganlah pembaca buku-buku Ibnu Taimiyah terperdaya dengan penisbatan pendapat yang batil ini kepada para imam di kalangan Ahlussunnah, karena sudah menjadi kebiasaan Ibnu Taimiyah menisbatkan pendapat yang dia gandrungi kepada para ulama Ahlussunnah, dan hendaklah pembaca karya-karya Ibnu Taimiyah ketahui bahwa ini adalah kelicikan dan tipuan belaka karena ia ingin memasarkan pendapatnya kepada orang-orang yang lemah akalnya yang tidak bisa mengkompromikan antara akal dan dalil naql.”

Syekh Abdullah al Ghumari juga menjelaskan:[6]

وَكُلُّ هذَا يَدُلُّكَ عَلَى أَنَّ ابْنَ تَيْمِيَةَ لاَ يَسْلُكُ فِي بُحُوْثِـهِ مَسْلَكَ العَالِمِ الْمُنْصِفِ الّّذِيْ يَحْكِي آرَاءَ مُخَالِفِيْهِ بِمُنْتَهَى الأَمَانَةِ وَالدِّقَّـةِ، بَلْ يُحَاوِلُ بِمُخْتَلَفِ الأَسَالِيْبِ أَنْ يُؤْثِّرَ فِي قَارِئِهِ وَيُوْهِمُهُ بِأَنَّ رَأْيَـهُ فَقَطْ هُوَ الصَّوَابُ، وَأَنَّـهُ لاَ يُعْرَفُ بَيْنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَسَلَفِ الأُمَّةِ قَوْلٌ يُخَالِفُ مَا اخْتَارَهُ وَذَهَبَ إِلَيْهِ إِلَى ءَاخِرِ التَّهْوِيْلاَتِ الَّتِي اعْتَادَهَا فِي كَلاَمِهِ لِلتَّأْثِيْرِ بِهَا عَلَى قُرَّائِـهِ بِحَيْثُ يُشْعِرُكَ أَنَّ رَأْيَـهُ إِجْمَاعٌ، ثُمَّ لاَ يَلْبَثُ أَنْ يَعْتَرِفَ فِي غُضُوْنِ كَلاَمِهِ بِإِثْبَاتِ مَا نَفَاهُ وَهَدْمِ مَا بَنَاهُ، وَمِنْ هُنَا كَثُرَ التَّنَاقُضُ فِي كُتُبِ ابْنِ تَيْمِيَةَ بِشَكْلٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي كُتُبِ غَيْرِهِ مِنَ العُلَمَاءِ، بَلْ يَتَنَاقَضُ فِي الكِتَابِ الوَاحِدِ عِدَّةَ مَرَّاتٍ فَيُصَحِّحُ الْحَدِيْثَ فِي مَوْضِعٍ وَيُعِلُّهُ فِي مَوْضِعٍ ءَاخَرَ، وَيَنْفِي وُجُوْدَ الْخِلاَفِ فِي مَسْأَلَةٍ ثُمَّ يَحْكِيْهِ فِيْهَا بَعْدَ ذلِكَ، وَهكَذَا، وَمَا هذَا شَأْنُ العُلَمَاءِ الْمُنْصِفِيْنَ، وَبِاللهِ التَّوْفِيْقُ.

“Ini semua menunjukkan kepada anda bahwa Ibnu Taimiyah dalam penelitian dan kajian-kajiannya tidak bersikap seperti layaknya seorang ulama yang obyektif yang menyebutkan pendapat-pendapat para ulama yang berbeda dengannya dengan penuh amanah dan ketelitian, sebaliknya dengan berbagai cara ia berusaha mempengaruhi pembacanya dan mengesankan kepadanya bahwa pendapatnya sajalah yang benar, tidak diketahui ada pendapat di kalangan para sahabat, tabi’in dan ulama salaf yang menyalahi apa yang dia pilih dan dia ikuti, dan demikian seterusnya gaya-gaya pembenaran yang biasa dia gunakan dalam perkataannya untuk mempengaruhi para pembacanya, sehingga ia mengesankan bahwa pendapatnya adalah ijma’, kemudian tidak lama setelah itu di sela-sela perkataannya ia menetapkan apa yang sebelumnya ia nafikan dan ia robohkan apa yang sebelumnya ia bangun. Dari sini, banyak kontradiksi dalam buku-bukunya dengan prosentase yang belum pernah ada pada ulama lain, bahkan dalam satu buku yang sama Ibnu Taimiyah bisa bertolak belakang perkataan-perkataannya beberapa kali, ia sahihkan hadits di suatu tempat lalu ia cacat di bagian lain, dia nafikan adanya perbedaan pendapat di suatu masalah kemudian setelah itu ia sebutkan khilaf dalam masalah tersebut, dan demikian seterusnya, ini bukanlah perangai para ulama yang obyektif dan kepada Allah-lah kita memohon taufiq.” 

Syekh Ibnu Hajar al Haytami juga menegaskan:[7]

مَنْ هُوَ ابْنُ تَيْمِيَةَ حَتَّى يُنْظَرَ إِلَيْهِ أَوْ يُعَوَّلَ فِي شَىْءٍ مِنْ أُمُوْرِ الدِّيْنِ عَلَيْهِ ؟! وَهَلْ هُوَ إِلاَّ كَمَا قَالَ جَمَاعَةٌ مِنَ الأَئِمَّةِ الَّذِيْنَ تَعَقَّبُوْا كَلِمَاتِهِ الفَاسِدَةَ وَحُجَجَهُ الكَاسِدَةَ حَتَّى أَظْهَرُوْا عُوَارَ سَقَطَاتِهِ وَقَبَائِحَ أَوْهَامِهِ وَغَلَطَاتِهِ كَالعِزِّ بنِ جَمَاعَةَ: عَبْدٌ أَضَلَّهُ اللهُ تَعَالَى وَأَغْوَاهُ وَأَلْبَسَهُ رِدَاءَ الْخِزْيِ وَأَرْدَاهُ، وَبَوَّأَهُ مِنْ قُوَّةِ الافْتِرَاءِ وَالكَذِبِ مَا أَعْقَبَهُ الْهَوَانَ وَأَوْجَبَ لَهُ الْحِرْمَانَ.

“Siapakah Ibnu Taimiyah sehinggu perlu dilihat atau dirujuk pendapatnya dalam urusan-urusan agama ?! Bukankah Ibnu Taimiyah tiada lain hanya seperti yang dikatakan oleh sekelompok para ulama yang mengkritisi perkataan-perkataannya yang menyimpang dan hujjah-hujjahnya yang lemah sehingga mereka singkap kesalahan-kesalahan, keburukan-keburukan pemahamannya seperti al ‘Izz ibn Jama’ah: Ibnu Taimiyah adalah seorang hamba yang disesatkan dan disimpangkan oleh Allah, Allah berikan kepadanya selendang kerendahan dan kehinaan, Allah berikan kepadanya kekuatan dan kelihaian untuk berbohong dan berdusta yang mengantarkannya kepada kehinaan dan mengakibatkannya terhalang.”

Referensi:
[1]  Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, jilid I, hal.224.
[2]  Majmu’ah Tafsir Sitt Suwar, hal.311.
[3] Ibnu Taimiyah, ar-Radd ‘ala Man Qala bi Fana’ al Jannah Wa an-Nar, hal.52, Ibnu Abi al ‘Izz, Syarh al ‘Aqidah ath-Thahawiyyah, hal.429.
[4]  Al Harari, al Maqaalaat as-Sunniyyah, hal.73.
[5]  Al Harari, al Maqaalaat as-Sunniyyah, hal.100.
[6]  Al Ghumari, Mishbah az-Zujajah fi Fawa-id Sholat al Ha-jah, hal.61-62.
[7] Al Haytami, al Jawhar al Munazhzham fi Ziyarah al Qabr an-nabawiyy al Mukarram, hal.27-28.

Ibnu Taimiyah Membungkam Wahabi Yang Anti Tahlilan

Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama panutan dan sokoguru Wahhabi, pernah ditanya tentang ritual seperti tahlilan, yang mencampur antara ayat-ayat Al Quran, tahlil, istighfar, shalawat, dan lain-lain dalam satu komposisi. Ternyata Ibnu Taimiyah membenarkan serta menganjurkannya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berkata :

 “Ibnu Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjama’ah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah. Mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah.” Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Quran, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup dan sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah, dan shalawat Nabi Muhammad SAW?” Lalu Ibnu Taimiyah menjawab, “Berjama’ah dalam berdzikir, mendengarkan al-Quran dan berdoa adalah amal sholeh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi Muhammad SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah memiliki banyak malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dnegan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “Silakan sampaikan hajat kalian.”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu.”…. Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca Al-Quran, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu maam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah Muhammad SAW dan hamba-hamba Allah yang sholeh, zaman dahulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, juz 22, halaman 520).


Pernyataan Syaikh Ibn Taimiyah di atas memberikan beberapa kesimpulan:
Pertama) bahwa dzikir berjamaah dengan komposisi bacaan yang beragam antara ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat dan lain-lain seperti yang terdapat dalam tradisi tahlilan adalah amal shaleh dan termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.

Kedua) Dzikir bersama atau berjamaah dengan mengeraskan suara dan bacaan seragam seperti Tahlilan, tidaklah bid’ah, bahkan termasuk amal dan ibadah utama di setiap waktu.

Ini bukti bahwa ajaran Wahabi, dari waktu ke waktu semakin ekstrem. Amaliyah yang dibolehkan oleh guru-guru mereka, sekarang mereka bid’ahkan. Jika memang Wahabi mengikuti jejak Ibnu Taimiyah, harusnya mereka menggelar Tahlilan, bukan malah melarangnya. Monggo kaum Wahabi yang berilmu menanggapi.
(KH. Muhammad Idrus Ramli)