Sunday, April 28, 2013

Ibn Taimiyah Meyakini Allah Berbicara dengan Huruf dan Suara


Ibnu Taimiyah meyakini bahwa Allah berbicara dengan huruf dan suara dan bahwa Allah kadang berbicara dan kadang diam.
    (Risalah fi Shifat al Kalam 51, 54, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah 1/221, Muwafaqah Sharih al Ma’qul Li Shahih al Manqul 2/143,151, 4/107, Majmu’ al Fatawa 6/160, 234, 5/556-557, Majmu’ah Tafsir 311)

    Bantahan:

    Al Imam Abu Hanifah dalam kitab al Fiqh al Akbar menyatakan:

    يَتَكَلَّمُ لاَ كَكَلاَمِنَا، نَحْنُ نَتَكَلَّمُ بِالآلاَتِ وَالْحُرُوْفِ وَاللهُ تعالى يَتَكَلَّمُ بِلاَ حُرُوْفٍ وَلاَ ءَالَةٍ. 

    “Allah mempunyai sifat kalam yang tidak menyerupai pembicaraan kita, kita berbicara menggunakan organ-organ pembicaraan dan huruf, sedangkan kalam Allah bukan huruf dan tanpa organ-organ pembicaraan.”

    Asy-Syaibani dalam Syarh ath-Thahawiyyah menyatakan:[1]

    وَالْحَرْفُ وَالصَّوْتُ مَخْلُوْقٌ، خَلْقُ اللهِ تَعَالَى لِيَحْصُلَ بِهِ التَّفَاهُمُ وَالتَّخَاطُبُ لِحَاجَةِ العِبَادِ إِلَى ذلِكَ أَيْ الْحُرُوْفِ وَالأَصْوَاتِ، وَالبَارِئُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَكَلاَمُهُ مُسْتَغْنٍ عَنْ ذلِكَ أَيْ عَنِ الْحُرُوْفِ وَالأَصْوَاتِ، وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِهِ: "وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي البَشَرِ فَقَدْ كَفَرَ.

    Huruf dan suara adalah makhluk, makhluk Allah yang diciptakan sebagai sarana untuk saling memahami dan berbicara  karena para hamba membutuhkan itu (huruf dan suara), sedangkan Allah ta’ala dan Kalam-Nya tidak membutuhkan kepada huruf dan suara, inilah makna perkataan ath-Thahawi: Barang siapa menyifati Allah dengan salah satu sifat makhluk maka ia telah kafir.”

    Al Imam Abu al Muzhaffar al Asfarayini menegaskan:[2]

    وَأَنْ تَعْلَمَ أَنَّ كَلاَمَ اللهِ تَعَالَى لَيْسَ بِحَرْفٍ وَلاَ صَوْتٍ لأَنَّ الْحَرْفَ وَالصَّوْتَ يَتَضَمَّنَانِ جَوَازَ التَّقَدُّمِ وَالتَّأَخُّرِ، وَذلِكَ مُسْتَحِيْلٌ عَلَى القَدِيْمِ سُبْحَانَهُ.

    Dan mesti anda ketahui bahwa Kalam Allah ta’ala bukan huruf dan suara, karena huruf dan suara mengandung unsur taqaddum (mendahului) dan ta-akhkhur (terdahului), dan itu mustahil bagi Allah yang qadim.”

    Al Imam Ibnu al Mu’allim al Qurasyi menegaskan:

    قَالَ الشَّيْخُ الإِمَامُ أَبُوْ عَلِيٍّ الْحَسَنُ بْنُ عَطَاءٍ فِي أَثْنَاءِ جَوَابٍ عَنْ سُؤَالٍ وُجِّـهَ إِلَيْهِ سَنَةَ إِحْدَى وَثَمَانِيْنَ وَأَرْبَعِمِائَةٍ: اَلْحُرُوْفُ مَسْبُوْقٌ بَعْضُهَا بِبَعْضٍ، وَالْمَسْبُوْقُ لاَ يَتَقَرَّرُ فِي العُقُوْلِ أَنَّهُ قَدِيْمٌ، فَإِنَّ القَدِيْمَ لاَ ابْتِدَاءَ لِوُجُوْدِهِ، وَمَا مِنْ حَرْفٍ وَصَوْتٍ إِلاَّ وَلَـهُ ابْتِدَاءٌ، وَصِفَاتُ البَارِئِ جَلَّ جَلاَلُهُ قَدِيْمَةٌ لاَ ابْتِدَاءَ لِوُجُوْدِهَا، وَمَنْ تَكَلَّمَ بِالْحُرُوْفِ يَتَرَتَّبُ كَلاَمُهُ وَمَنْ تَرَتَّبَ كَلاَمُهُ يَشْغَلُهُ كَلاَمٌ عَنْ كَلاَمٍ، وَاللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لاَ يَشْغَلُهُ كَلاَمٌ عَنْ كَلاَمٍ، وَهُوَ سُبْحَانَهُ يُحَاسِبُ الْخَلْقَ يَوْمَ القِيَامَةِ فِي سَاعَةٍ وَاحِدَةٍ، فَدَفْعَةً وَاحِدَةً يَسْمَعُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ كَلاَمِهِ خِطَابَهُ إِيَّاهُ، وَلَوْ كَانَ كَلاَمُهُ بِحَرْفٍ مَا لَمْ يَتَفَرَّغْ عَنْ يَا إِبْرَاهِيْمُ وَلاَ يَقْدِرُ أَنْ يَقُوْلَ يَا مُحَمَّدُ فَيَكُوْنُ الْخَلْقُ مَحْبُوْسِيْنَ يَنْتَظِرُوْنَ فَرَاغَهُ مِنْ وَاحِدٍ إِلَى وَاحِدٍ وَهذَا مُحَالٌ.

    Syekh al Imam Abu Ali al Hasan ibn ‘Atha’ dalam jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepadanya pada tahun 481 H mengatakan: huruf sebagian didahului oleh sebagian yang lain, dan sesuatu yang terdahului tidak bisa diterima oleh akal bahwa ia qadim, karena qadim adalah sesuatu yang tidak memiliki permulaan adanya, dan tidak ada huruf dan suara mana-pun kecuali memiliki permulaan, sedangkan sifat-sifat Allah adalah qadim tidak memiliki permulaan adanya, orang yang berbicara dengan huruf maka kalamnya berurutan, orang yang berurutan kalamnya akan disibukkan oleh suatu perkataan dari perkataan yang lain sedangkan Allah ta’ala tidak disibukkan oleh satu perkataan dari perkataan yang lain. Allah ta’ala menghisab makhluk-Nya di hari kiamat dalam satu waktu, pada saat yang satu dan sama masing-masing mendengar Kalam Allah kepadanya, maka seandainya kalam Allah adalah dengan huruf niscaya selama Allah belum selesai mengucapkan Wahai Ibrahim tidak akan mampu mengatakan Wahai Muhammad, sehingga makhluk semuanya tertahan menunggu selesainya hisab Allah kepada makhluk-Nya satu per satu, satu menyusul yang lain, dan ini adalah sesuatu yang mustahil.”

    Syekh Muhammad Zahid al Kawtsari menegaskan:[3]

    وَأَفَاضَ الْحَافِظُ أَبُوْ الْحَسَنِ الْمَقْدِسِيُّ شَيْخُ الْمُنْذِرِيِّ فِي رِسَالَـةٍ خَاصَّةٍ فِي تَبْيِيْنِ بُطْلاَنِ الرِّوَايَاتِ فِي ذلِكَ زِيَادَةً عَلَى مَا يُوْجِبُهُ الدَّلِيْلُ العَقْلِيُّ القَاضِي بِتَنْـزِيْهِ اللهِ عَنْ حُلُوْلِ الْحَوَادِثِ فِيْهِ سُبْحَانَهُ، وَإِنْ أَجَازَ ذلِكَ الشَّيْخُ الْحَرَّانِيُّ تَبَعًا لابْنِ مَلْكَا اليَهُوْدِيِّ الفَيْلُسُوْفِ الْمُتَمَسْلِمِ، حَتَّى اجْتَرَأَ عَلَى أَنْ يَزْعُمَ أَنَّ اللَّفْظَ حَادِثٌ شَخْصًا قَدِيْمٌ نَوْعًا، يَعْنِي أَنَّ اللَّفْظَ صَادِرٌ مِنْهُ تَعَالَى بِالْحَرْفِ وَالصَّوْتِ فَيَكُوْنُ حَادِثًا حَتْمًا، لكِنْ مَا مِنْ لَفْظٍ إِلاَّ وَقَبْلَهُ لَفْظٌ صَدَرَ مِنْهُ إِلَى مَا لاَ أَوَّلَ لَـهُ فَيَكُوْنُ قَدِيْمًا بِالنَّوْعِ، وَيَكُوْنُ قِدَمُهُ بِهذَا الاعْتِـبَارِ فِي نَظَرِ هذَا الْمُخَرَّفِ، تَعَالَى اللهُ عَنْ إِفْكِ الأَفَّاكِيْنَ، وَلَمْ يَدْرِ الْمِسْكِيْنُ بُطْلاَنَ القَوْلِ بِحُلُوْلِ الْحَوَادِثِ فِي اللهِ جَلَّ شَأْنُهُ وَأَنَّ القَوْلَ بِحَوَادِثَ لاَ أَوَّلَ لَهَا هَذَيَانٌ، لأَنَّ الْحَرَكَةَ انْتِـقَالٌ مِنْ حَالَـةٍ إِلَى حَالَـةٍ، فَهِيَ تَقْتَضِي بِحَسَبِ مَاهِيتِهَا كَوْنَهَا مَسْبُوْقَـةً بِالغَيْرِ، وَالأَزَلِيُّ يُنَافِي كَوْنَهُ مَسْبُوْقًا بِالغَيْرِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُوْنَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا مُحَالاً، وَلأَنَّهُ لاَ وُجُوْدَ لِلنَّوْعِ إِلاَّ فِي ضِمْنِ أَفْرَادِهِ، فَادِّعَاءُ قِدَمِ النَّوْعِ مَعَ الاعْتِـرَافِ بِحُدُوْثِ الأَفْرَادِ يَكُوْنُ ظَاهِرَ البُطْلاَنِ. وَقَدْ أَجَادَ الرَّدَّ عَلَيْهِ العَلاَّمَةُ قَاسِمٌ فِي كَلاَمِهِ عَلَى الْمُسَايَرَةِ.

    Al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi –Guru al Mundziri- dalam sebuah risalah khusus telah menjelaskan dengan panjang lebar  kebatilan riwayat-riwayat tentang suara, selain dalil akal yang mengharuskan pensucian Allah dari bertempatnya sifat-sifat baharu pada-Nya, meskipun hal itu dibolehkan oleh Ibnu Taimiyah al Harrani karena mengikuti Ibnu Malka al Yahudi filsuf yang berpura-pura muslim, sehingga Ibnu Taimiyah berani mengklaim bahwa lafazh itu masing-masing individunya baharu namun jenisnya qadim, yakni bahwa lafazh itu muncul dari Allah berupa huruf dan suara maka pasti baharu, namun tidaklah ada lafazh yang keluar dari Allah kecuali sebelumnya telah ada lafazh yang muncul dari-Nya demikian seterusnya ke belakang tanpa permulaan maka dengan demikian qadim jenisnya, dengan makna inilah keqadiman lafazh menurut orang pikun ini, maha suci Allah dari kedustaan para pembohong seperti ini, Ibnu Taimiyah yang payah ini tidak memahami kebatilan pendapat bahwa sifat-sitat baharu bertempat pada Allah dan bahwa pendapat adanya hawa-dits yang tiada permulaan baginya adalah igauan, karena gerakan adalah berpindah dari satu keadaan ke keadaan lain, maka dilihat dari substansinya gerakan itu didahului oleh yang lain, padahal status azali bertolak belakang dengan terdahuluinya sesuatu oleh yang lain, maka menyatukan antara terdahuluinya oleh yang lain dan keazalian adalah sesuatu yang mustahil, Juga dikarenakan tidak ada wujud bagi jenis kecuali pada individu-individunya, jadi klaim bahwa jenis alam azali disertai pengakuan bahwa individunya baharu jelas nyata kebatilannya. Ibnu Taimiyah sudah dibantah dengan bagus oleh al ‘Allamah Qasim dalam komentarnya terhadap kitab al Musayarah.”

    Para ulama dan para Huffazh hadits juga menegaskan bahwa tidak ada hadits sahih yang memenuhi syarat dalam menetapkan suara bagi Allah, demikian ditegaskan oleh al Hafizh al Bayhaqi dalam al Asma’ Wa ash-Shifat, al Hafizh Abu al Hasan ibnu Abi al Makarim al Maqdisi –guru al Hafizh al Mundziri- dalam Juz’ khusus, al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al Bari, al Kawtsari dalam as-Sayf ash-Shaqil dan Maqalaat-nya dan lainnya.

    Catatan Kaki

    [1] Asy-Syaibani, Syarh ath-Thahawiyyah, hal.14.
    [2] Abu al Muzhaffar al Asfarayini, at-Tabshir fi ad-Din, hal. 102.
    [3] Al Kawtsari, Bid’ah ash-Shautiyyah haula al Qur’an dalam Maqalat al Kawtsari, hal.59.

    0 comments:

    Post a Comment