Sunday, April 28, 2013

Ibnu Taimiyah Mengharamkan Safar Untuk Ziarah ke Makam Nabi SAW


Ibnu Taimiyah mengharamkan melakukan safar (perjalanan jauh) untuk berziarah ke makam Nabi dan menganggap safar tersebut adalah maksiat yang tidak boleh mengqashar sholat di dalamnya.
    (Majmu’ Fatawa 4/520, al Fatawa al Kubra 1/142, ar-Radd ‘ala al Akhna-i hal. 165)

    Bantahan:

    Al Qadli ‘Iyadl menegaskan:[1]

    وَزِيَارَةُ قَبْرِهِ صلى الله عليه وسلم سُنَّةٌ مِنْ سُنَنِ الْمُسْلِمِيْنَ مُجْمَعٌ عَلَيْهَا وَفَضِيْلَةٌ مُرَغَّبٌ فِيْهَا.

    “Ziarah makam Nabi  adalah salah satu sunnah ummat Islam yang telah disepakati (ijma’), dan keutamaan yang sangat dianjurkan.”

    Al Imam an-Nawawi menegaskan:[2]

    فَإِنَّ زِيَارَتَهُ صلى الله عليه وسلم مِنْ أَهَمِّ القُرُبَاتِ وَأَرْبَحِ الْمَسَاعِي وَأَفْضَلِ الطَّلَبَاتِ.

    “Karena ziarah Nabi termasuk salah satu ibadah yang terpenting, upaya yang menguntungkan dan keinginan yang sangat mulia.”

    Ibnu al Hajj dalam al Madkhal menegaskan:[3]

    وَالْحَاصِلُ مِنْ أَقْوَالِهِمْ أَنَّهَا قُرْبَـةٌ مَطْلُوْبَـةٌ لِنَفْسِهَا لاَ تَعَلُّقَ لَهَا بِغَيْرِهَا، فَتَنْفَرِدُ بِالقَصْدِ وَشَدِّ الرِّحَالِ إِلَيْهَا.

    Kesimpulan dari perkataan para ulama bahwa ziarah ke makam Nabi adalah ibadah yang dianjurkan secara mandiri, tidak ada kaitannya dengan selainnya, oleh karenanya ia bisa disendirikan dalam niat dan bepergian jauh untuknya.”

    Ibnu Hajar al Haytami menegaskan:[4]

    وَلاَ يُغْـتَرُّ بِإِنْكَارِ ابْنِ تَيْمِيَةَ لِسَنِّ زِيَارَةِ قَبْرِ الرَّسُوْلِ r فَإِنَّهُ عَبْدٌ أَضَلَّهُ اللهُ كَمَا قَالَهُ العِزُّ ابْنُ جَمَاعَةَ، وَأَطَالَ فِي الرَّدِّ عَلَيْهِ التَّقِيُّ السُّبْكِيُّ فِي تَصْنِيْفٍ مُسْتَقِلٍّ، وَوُقُوْعُهُ فِي حَقِّ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَيْسَ بِعَجَبٍ فَإِنَّهُ وَقَعَ فِي حَقِّ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَقُوْلُ الظَّالِمُوْنَ وَالْجَاحِدُوْنَ عُلُوًّا كَبِيْرًا، فَنَسَبَ إِلَيْهِ العَظَائِمَ كَقَوْلِهِ إِنَّ لله تَعَالَى جِهَةً وَيَدًا وَرِجْلاً وَعَيْنًا وَغَيْرَ ذلِكَ مِنَ القَبَائِحِ الشَّنِيْعَةِ، وَلَقَدْ كَفَّرَهُ كَثِيْرٌ مِنَ العُلَمَاءِ، عَامَلَهُ اللهُ بِعَدْلِـهِ وَخَذَلَ مُتَّبِـعِيْهِ الَّذِيْنَ نَصَرُوْا مَا افْتَرَاهُ عَلَى الشَّرِيْعَةِ الغَرَّاءِ.

    “Dan jangan terperdaya dengan pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap kesunnahan ziarah ke makam Nabi r, karena Ibnu Taimiyah sesungguhnya adalah hamba yang disesatkan oleh Allah seperti dikatakan oleh al ‘Izz ibn Jama’ah, dan as-Subki dengan panjang lebar telah membantahnya dalam karangan khusus. Penodaan Ibnu Taimiyah terhadap Rasulullah tidaklah aneh, karena ia telah menodai keagungan Allah –maha suci Allah dari perkataan-perkataan orang kafir nan ateis-, ia menisbatkan kepada Allah hal-hal yang sangat fatal seperti perkataannya bahwa Allah memiliki arah, yad, rijl dan ‘ayn dengan makna anggota badan (jarihah) dan kekejian-kekejian lainnya, Ibnu Taimiyah bahkan telah dikafirkan oleh banyak para ulama, semoga Allah membalasnya dengan keadilan-Nya, dan tidak menolong para pengikutnya yang mendukung kebohongan-kebohongannya terhadap sya’iat yang mulia.”

    Sedangkan hadits:

    لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَـةِ مَسَاجِدَ: اَلْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُـوْلِ صلى الله عليه وسلم وَمَسْجِدِ الأَقْصَى (رواه البخاريّ)

    Ditafsirkan dengan hadits lain:

    لاَ يَنْبَغِيْ لِلْمَطِيِّ أَنْ تُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ يُبْتَغَى فِيْهِ الصَّلاَةُ غَيْر الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الأَقْصَى وَمَسْجِدِيْ هذَا (حديث حسن رواه أحمد)

    Al Hafizh Abu Zur’ah al ‘Iraqi menyimpulkan:[5]

    فَتَبَـيَّنَ أَنَّ الْمُرَادَ شَـدُّ الرَّحْلِ إِلَى مَسْجِدٍ تُبْتَغَى فِيْهِ الصَّلاَةُ لاَ كُلُّ سَفَرٍ.

    “Jadi menjadi jelaslah bahwa yang dimaksud adalah berpergian jauh ke masjid untuk tujuan sholat, bukan setiap jenis perjalanan jauh.”

    Al Imam Taqiyyuddin as-Subki menjelaskan:[6]

    الاسْتِـثْنَاءُ مُفَرَّغٌ تَقْدِيْرُهُ لاَ تُشَـدُّ الرِّحَالُ إِلَى مَسْجِدٍ إِلاَّ إِلَى الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَـةِ، أَوْ لاَ تُشَـدُّ الرِّحَالُ إِلَى مَكَانٍ إِلاَّ إِلَى الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ، وَلاَ بُدَّ مِنْ أَحَدِ هذَيْنِ التَّقْدِيْرَيْنِ لِيَكُوْنَ الْمُسْتَـثْنَى مُنْدَرِجًا تَحْتَ الْمُسْتَـثْنَى مِنْهُ، وَالتَّقْدِيْرُ الأَوَّلُ أَوْلَى لأَنَّـهُ جِنْسٌ قَرِيْبٌ وَلِمَا سَنُبَـيِّنُهُ مِنْ قِلَّةِ التَّخْصِيْصِ أَوْ عَدَمِهِ عَلَى هذَا التَّقْدِيْرِ.

    “Istitsna’ dalam hadits tersebut adalah Istitsna’ Mufarragh, taqdirnya: Tidak boleh melakukan perjalanan jauh ke sebuah masjid kecuali tujuannya ketiga masjid tersebut, atau Tidak boleh melakukan perjalanan jauh ke suatu tempat kecuali ke tiga masjid tersebut. Harus ditaqdirkan dengan salah satu agar Mustatsna masuk dalam bagian Mustasna minhu, taqdir yang pertama lebih tepat karena itu adalah jenis yang paling dekat, dan minimnya takhshish atau ketiadaan takhsish sama sekali dalam taqdir tersebut.”

    Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan:[7]

    قَالَ بَعْضُ الْمُحَقِّقِيْنَ: قَوْلُـهُ "إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ" اَلْمُسْتَثْنَى مِنْهُ مَحْذُوْفٌ، فَإِمَّا أَنْ يُقَدَّرَ عَآمًّا فَيَصِيْرُ لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى مَكَانٍ فِي أَيِّ أَمْرٍ كَانَ إِلاَّ إِلَى الثَّلاَثَـةِ، أَوْ أَخَصَّ مِنْ ذلِكَ. لاَ سَـبِيْلَ إِلَى الأَوَّلِ لإفْضَائِهِ إِلَى سَدِّ بَابِ السَّفَرِ لِلتِّجَارَةِ وَصِلَةِ الرَّحِمِ وَطَلَبِ العِلْمِ وَغَيْرِهَا فَتَعَـيَّنَ الثَّانِي، وَالأَوْلَى أَنْ يُقَدَّرَ مَا هُوَ أَكْثَرُ مُنَاسَـبَةً وَهُوَ لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَى مَسْجِدٍ لِلصَّلاَةِ فِيْهِ إِلاَّ لِلثَّلاَثَـةِ، فَيَبْطُلُ بِذلِكَ قَوْلُ مَنْ مَنَعَ شَدَّ الرِّحَالِ إِلَى زِيَارَةِ القَبْرِ الشَّرِيْفِ وَغَيْرِهِ مِنْ قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ وَاللهُ أَعْلَمُ.

    “Sebagian para ulama ahli tahqiq mengatakan: sabda Nabi "إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ" Mustatsna minhu-nya dibuang, mungkin ditaqdirkan umum sehingga maknanya tidak boleh melakukan perjalanan jauh ke suatu tempat dengan tujuan apa-pun kecuali ke tiga masjid tersebut, atau ditaqdirkan lebih khusus dari itu. Tidak mungkin ditaqdirkan dengan yang pertama karena akan menutup pintu safar untuk dagang, shilaturrahim, menuntut ilmu dan lainnya. Maka harus ditaqdirkan dengan yang kedua, dan paling tepat jika ditaqdirkan yang paling banyak persesuaiannya, yaitu tidak boleh melakukan perjalanan jauh ke suatu masjid dengan tujuan sholat di dalamnya kecuali ke tiga masjid tersebut. Dengan demikian batal-lah pendapat orang yang melarang perjalanan jauh untuk ziarah ke makam Nabi yang mulia dan kuburan orang-orang saleh selainnya, Wallahu A’lam.” 

    Bahkan adz-Dzahabi membolehkan safar untuk ziarah ke makam Nabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’ (4/484) dan menegaskan dalam Mu’jam asy-Syuyukh (2/308):

    لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَـةِ مَسَاجِدَ، إِنَّمَا حَقِيْقَةُ النَّهْيِ فِي النَّصِّ هُوَ عَنْ شَدِّ الرِّحَالِ إِلَى مَسْجِدٍ غَيْرِ الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَـةِ.

    “Hadits (لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَـةِ مَسَاجِدَ), hakekat larangan dalam nash ini tiada lain adalah larangan untuk melakukan perjalanan jauh ke sebuah masjid selain tiga masjid tersebut.”

    Al Hafizh Zaynuddin al ‘Iraqi menyimpulkan:[8]

    وَيَنْبَغِيْ لِكُلِّ مُسْلِمٍ اعْتِقَادُ كَوْنِ زِيَارَتِـهِ صلى الله عليه وسلم قُرْبَـةً لِلأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِي ذلِكَ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى:   (ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم) [سورة النساء] الآية، لأَنَّ تَعْظِيْمَهُ صلى الله عليه وسلم لاَ يَنْقَطِعُ بِمَوْتِـهِ، وَلاَ يُقَالُ إِنَّ اسْتِغْفَارَ الرَّسُـوْلِ لَهُمْ إِنَّمَا هُوَ فِي حَالِ حَيَاتِـهِ، وَلَيْسَتِ الزِّيَارَةُ كذلِكَ لِمَا قَدْ أَجَابَ بِهِ بَعْضُ أَئِمَّةِ الْمُحَقِّقِيْنَ مِنْ أَنَّ الآيَـةَ دَلَّتْ عَلَى تَعْلِيْقِ وِجْدَانِ اللهِ تَوَّابًا رَحِيْمًا بِثَلاَثَةِ أُمُوْرٍ: الْمَجِيْءِ، وَاسْتِغْفَارِ الرَّسُوْلِ لَهُمْ، وَقَدْ حَصَلَ اسْتِغْفَارُ الرَّسُوْلِ لِجَمِيْعِ الْمُؤْمِنِيْنَ لأَنَّهُ صلى الله عليه وسلم قَدْ اسْتَغْفَرَ لِلْجَمِيْعِ قَالَ اللهُ تَعَالَى: (واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات)  فَإِذَا وُجِدَ مَجِيْئُهُمْ أَوْ اسْتِغْفَارُهُمْ تَكَامَلَتِ الأُمُوْرُ الثَّلاَثَـةُ الْمُوْجِبَةُ لِتَوْبَـةِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ.

    “Seyogyanya setiap muslim meyakini bahwa ziarah kepada Nabi  adalah ibadah sesuai dengan hadits-hadits tentang itu, juga karena firman Allah:

    (ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم)

    Karena ta’zhim kita kepada Nabi  tidak terputus dengan kematiannya. Tidak bisa dikatakan bahwa istighfar Rasul untuk mereka hanya terjadi di masa hidupnya dan ziarah jelas dilakukan bukan di masa hidup Nabi, karena jawaban yang telah diberikan oleh sebagian para ulama muhaqqiqin bahwa ayat tersebut menunjukkan tergantungnya didapatinya Allah maha penerima taubat dan maha penyayang kepada tiga hal: datang kepada Nabi, istighfar Nabi untuk mereka, dan Nabi telah melakukan istighfar untuk semua orang mukmin sesuai perintah Allah:

    (واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات)

    Jadi jika telah didapati kedatangan mereka atau istighfar mereka maka sempurnalah tiga hal yang meniscayakan diterimanya taubat oleh Allah dan kasih sayang Allah.”

    catatan kaki

    [1] Al Qadli ‘Iyadl, as-Syifa’, 2/83.
    [2] An-Nawawi, al Adzkar, hal. 216.
    [3] Ibnu al Hajj, al Madkhal, 1/256.
    [4] Al Haytami, Hasyiyah Ibnu Hajar ‘ala Matn al I-dlah, hal.443.
    [5]  Abu Zur’ah al ‘Iraqi, Tharh at-Tatsrib, 6/43-44.
    [6]  At-Taqiyy as-Subki, Syifa’ s-Saqaam, hal.118-119.
    [7]  Ibnu Hajar al ‘Asqalani, Fath al Bari, (3/66).
    [8]  Dikutip oleh Syekh Muhammad ash-Shalihi dalam Subul al Huda Wa ar-Rasyad, 1/383.

    0 comments:

    Post a Comment