Sunday, April 28, 2013

Ibnu Taimiyah Menyalahi ijma’ Ulama dalam Banyak Masalah Fiqih


Menyalahi ijma’ ulama dalam banyak masalah fiqh seperti beberapa masalah talak: Talak Tiga di satu majelis, Thalaq Mu’allaq dan Thalaq al Ha-idl. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa Talak tiga jatuh satu dan menurutnya talak Mu’allaq adalah seperti sumpah-sumpah biasa, cukup membayar kaffarat jika syaratnya dilakukan, dan talak tersebut tidak jatuh, serta talak yang dijatuhkan saat isteri haidl juga tidak jatuh.

(Majmu’ al Fatawa 33/8-9, 46, 66, 71, 92)

Bantahan:
    A.         Talak Tiga di Satu Majelis 
      Al Imam Ibnu al Mundzir dalam kitabnya al Ijma’ menegaskan:[1]

      وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّـهُ إِنْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلاَثًا إِلاَّ وَاحِدَةً إِنَّهَا تَطْلِيْقَتَيْنِ. وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّـهُ إِنْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلاَثًا إِلاَّ ثَلاَثًا إِنَّهَا تَطْلُقُ ثَلاَثًا.

      “Dan para ulama’ mujtahid telah menyepakati (ijma’) bahwa jika suami berkata kepada isterinya: Kamu saya talak tiga kecuali satu bahwa itu adalah talak dua, dan mereka juga sepakat jika suami berkata kepada isterinya: kamu saya talak tiga kecuali tiga maka isteri telah ditalak tiga.”

      Ijma’ juga dikutip oleh Ibnu al Mundzir dalam kitabnya yang lain al Isyraf, Abu al Walid Muhammad ibn Rusyd al Maliki dalam al Muqaddimaat, al Imam al Mujtahid Muhammad ibn al Hasan asy-Syaibani dalam al Aatsaar, al Baji al Maliki dalam al Muntaqa Syarh al Muwaththa’, Majduddin Abdus Salam ibn Taimiyah al Hanbali –Muharrir al Madzhab al Hanbali- (kakek Ibnu Taimiyah) dalam al Muntaqa Min Akhbar al Mushthafa dan lainnya.
      Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan:[2]

      وَفِي الْجُمْلَةِ فَالَّذِيْ وَقَعَ فِي هذِهِ الْمَسْأَلَـةِ نَظِيْرُ مَا وَقَعَ فِي مَسْأَلَـةِ الْمُتْعَةِ سَوَاء، أَعْنِي قولَ جَابِرٍ إِنَّهَا كَانَتْ تُفْعَلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَبِي بَكْرٍ وَصَدْرٍ مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ، قَالَ ثُمَّ نَهَانَا عُمَرُ عَنْهَا فَانْتَهَيْنَا، فَالرَّاجِحُ فِي الْمَوْضِعَيْنِ تَحْرِيْمُ الْمُتْعَةِ وَإِيْقَاعُ الثَّلاَثِ لِلإِجْمَاعِ الَّذِي انْعَقَدَ فِي عَهْدِ عُمَرَ عَلَى ذلِكَ، وَلاَ يُحْفَظُ أَنَّ أَحَدًا فِي عَهْدِ عُمَرَ خَالَفَهُ فِي وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا، وَقَدْ دَلَّ إِجْمَاعُهُمْ عَلَى وُجُوْدِ نَاسِخٍ وَإِنْ كَانَ خَفِيَ عَنْ بَعْضِهِمْ قَبْلَ ذلِكَ حَتَّى ظَهَرَ لِجَمِيْعِهِمْ فِي عَهْدِ عُمَرَ، فَالْمُخَالِفُ بَعْدَ هذَا الإِجْمَاعِ مُنَابِذٌ لَهُ، وَالْجُمْهُوْرُ عَلَى عَدَمِ اعْتِـبَارِ مَنْ أَحْدَثَ الاخْتِلاَفَ بَعْدَ الاتِّفَاقِ. ثُمَّ قَالَ: الْمَسْئَلَةُ إِجْمَاعِيَّةٌ.

      “Secara umum yang terjadi dalam masalah ini adalah seperti yang terjadi pada masalah mut’ah sama, maksud saya adalah perkataan Jabir: “Mut’ah pernah dilakukan di masa Nabi, Abu Bakar dan awal pemerintahan Umar.” Kemudian Jabir berkata: “Lalu Umar melarang kami dari Mut’ah dan kami tidak lagi melakukannya.” Jadi yang rajih (kuat dalilnya) dalam dua masalah tersebut adalah keharaman Mut’ah dan jatuhnya talak tiga karena ijma’ yang telah terjadi seperti itu di masa Umar dan tidak ada riwayat bahwa salah seorang mujtahid menyalahi Umar dalam satu masalah-pun di antara dua masalah tersebut. Ijma’ mereka ini menunjukkan adanya nash yang menghapus (nasakh) meskipun tidak diketahui oleh sebagian orang sebelum itu hingga nampak nasikh tersebut bagi semua ulama di masa Umar, jadi orang yang menyalahi setelah jelas-jelas ada ijma’  ini maka ia telah menolak ijma’ tersebut, dan mayoritas para ulama tidak memperhitungkan orang yang memunculkan pendapat berbeda setelah adanya ijma’”, kemudian al Hafizh Ibnu Hajar menegaskan: “Jadi masalah ini adalah masalah yang telah disepakati (ijma’).”

      Syekh Ahmad ash-Shawi ketika menjelaskan tafsir ayat:

       ( فإن طلقها فلا تحل له )

      menegaskan:[3]

      أَيْ طَلْقَةً ثَالِثَةً سَوَاءٌ وَقَعَ الاثْنَـتَانِ فِي مَرَّةٍ أَوْ مَرَّتَيْنِ، وَالْمَعْنَى فَإِنْ ثَبَتَ طَلاَقُهَا ثَلاَثًا فِي مَرَّةٍ أَوْ مَرَّاتٍ فَلاَ تَحِلُّ، كَمَا إِذَا قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلاَثًا أَوْ البَـتَّةَ، وَهذَا هُوَ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ. وَأَمَّا القَوْلُ بِأَنَّ الطَّلاَقَ الثَّلاَثَ فِيْ مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ لاَ يَقَعُ إِلاَّ طَلْقَةٌ فَلَمْ يُعْرَفْ إِلاَّ لابْنِ تَيْمِيَةَ مِنَ الْحَنَابِلَةِ، وَقَدْ رَدَّ عَلَيْهِ أَئِمَّةُ مَذْهَبِهِ حَتَّى قَالَ العُلَمَاءُ إِنَّـهُ الضَّآلُّ الْمُضِلُّ، وَنِسْبَتُهَا للإِمَامِ أَشْهَب مِنَ أَئِمَّةِ الْمَالِكِيَّةِ بَاطِلَةٌ.

      “Yakni talak ke tiga, baik dua talak yang sebelumnya jatuh sekaligus atau dalam dua waktu, jadi makna ayat tersebut jika talak telah terjadi tiga kali dalam satu majelis atau beberapa majelis maka tidak halal bagi suaminya, seperti jika suami berkata kepadanya: Kamu saya talak tiga atau albattah, dan ini adalah hukum yang telah disepakati oleh para ulama semuanya (ijma’). Sedangkan pendapat bahwa talak tiga di satu majelis tidak jatuh kecuali satu maka pendapat ini tidak dikenal kecuali pendapat Ibnu Taimiyah dari kalangan pengikut madzhab hanbali, dan Ibnu Taimiyah telah dibantah oleh para ulama madzhabnya sendiri, bahkan para ulama berkata tentangnya: dia orang yang sesat dan menyesatkan. Penisbatan pendapat tersebut kepada Imam Asyhab, salah seorang Ulama madzhab Maliki adalah penisbatan yang batil.”

      Al Kawtsari menegaskan:[4]

      وَفِي التَّذْكِرَةِ لِلإِمَامِ الكَبِيْرِ أَبِي الوَفَاءِ بْنِ عَقِيْلٍ الْحَنْبَلِيِّ: وَإِذَا قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ ثَلاَثًا إِلاَّ طَلْقَتَيْنِ وَقَعَتْ الثَّلاَثُ لأَنَّـهُ اسْتِـثْنَاءُ الأَكْثَرِ فَلَمْ يَصِحَّ الاسْتِثْـنَاءُ. وَقَالَ أَبُوْ البَرَكَاتِ مَجْدُ الدِّيْنِ عَبْدُ السَّلاَمِ بْنُ تَيْمِيَةَ الْحَرَّانِيُّ الْحَنْبَلِيُّ مُؤَلِّفُ مُنْـتَقَى الأَخْبَارِ فِي كِتَابِـهِ الْمُحَرَّرُ: وَلَوْ طَلَّقَهَا اثْنَتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا بِكَلِمَةٍ أَوْ كَلِمَاتٍ فِي طُهْرٍ فَمَا فَوْقَ مِنْ غَيْرِ مُرَاجَعَةٍ وَقَعَ وَكَانَ لِلسُّـنَّةِ، وَعَنْهُ لِلْبِدْعَةِ وَعَنْهُ الْجَمْعُ فِي الطُّهْرِ بِدْعَـةٌ، وَالتَّفْرِيْقُ فِي الأَطْهَارِ سُـنَّةٌ ا.هـ. وَأَحْمَدُ بْنُ تَيْمِيَةَ يَرْوِيْ عَنْ جَدِّهِ هذَا أَنَّـهُ كَانَ يُفْتِيْ سِرًّا بِرَدِّ الثَّلاَثِ إِلَى وَاحِدَةٍ وَأَنْتَ تَرَى نَصَّ قَوْلِـهِ فِي الْمُحَرَّرِ، وَنُبْرِئُ جَدَّهُ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ يُبَـيِّتُ مِنَ القَوْلِ خِلاَفَ مَا يُصَرِّحُ بِـهِ فِي كُتُـبِهِ، وَإِنَّمَا ذلِكَ شَأْنُ الْمُنَافِقِيْنَ وَالزَّنَادِقَـةِ، وَقَدْ بَلَوْنَا الكَذِبَ كَثِيْرًا فِيْمَا يَنْقُلُهُ ابْنُ تَيْمِيَةَ فَإِذَا كَذَبَ عَلَى جَدِّهِ هذَا الكَذِبَ الْمَكْشُوْفَ لاَ يَصْعُبُ عَلَيْهِ أَنْ يَكْذِبَ عَلَى الآخَرِيْنَ نَسْأَلُ اللهَ السَّلاَمَـةَ.

      “Dalam kitab at-Tadzkirah karya ulama besar madzhab hanbali al Imam Abu al Wafa’ ibn ‘Aqil: “Jika suami berkata: kamu saya talak tiga kecuali dua maka jatuh tiga karena itu adalah mengecualikan yang paling banyak jadi tidak sah pengecualian tersebut.” Abu al Barakaat Majduddin Abdus Salam ibnu Taimiyah al Harrani al Hanbali -pengarang Muntaqa al Akhbar- dalam kitabnya al Muharrar mengatakan: “jika suami mentalak isterinya talak dua atau tiga dengan satu kalimat atau beberapa kalimat dalam satu kali suci atau lebih tanpa merujuknya maka jatuh talak tersebut dan statusnya talak sunni, dan ada riwayat dari imam Ahmad itu adalah talak bid’i, ada riwayat lagi: menyatukan talak dalam satu kali suci adalah bid’ah dan memisahkan talak dalam beberapa kali suci adalah sunnah.” Sedangkan Ahmad ibnu Taimiyah meriwayatkan dari kakeknya ini bahwa beliau secara rahasia memfatwakan bahwa talak tiga jatuh satu, padahal anda telah membaca sendiri penegasan beliau di al Muharrar, kita tidak percaya bahwa kakek Ibnu Taimiyah menyembunyikan pendapat yang berbeda dari apa yang ia tegaskan sendiri di buku-bukunya karena ini adalah perangai orang-orang munafik dan zindiq (perusak agama), dan kita sudah tahu persis Ibnu Taimiyah sering berbohong dalam kutipan-kutipannya, jika Ibnu Taimiyah dengan mudah berdusta terhadap kakeknya maka tidaklah sulit baginya berdusta kepada orang lain, kita memohon keselamatan kepada Allah.”

        B.     Thalaq Mu’allaq 
           Al Imam Muhammad ibn Nashr al Marwazi dalam kitabnya Ikhtilaf al ‘Ulama menegaskan:[5]

          فَإِنْ حَلَفَ بِطَلاَقٍ أَوْ عِتَاقٍ فَقَدْ أَجْمَعَتِ الأُمَّـةُ عَلَى أَنَّ الطَّلاَقَ لاَ كَفَّارَةَ فِيْهِ، وَأَنَّـهُ إِنْ حَنَثَ فِي يَمِيْـنِهِ فَالطَّلاَقُ لاَزِمٌ لَـهُ.” ثُمَّ قَالَ: "فَكُلُّ يَمِيْنٍ حَلَفَ بِهَا الرَّجُلُ يَحْنُثُ فَعَلَيْهِ الكَفَّارَةُ عَلَى ظَاهِرِ الكِتَابِ إِلاَّ أَنْ تُجْمِعَ الأُمَّـةُ عَلَى يَمِيْنٍ أَنَّهُ لاَ كَفَّارَةَ فِيْهِ، فَأَسْقَطْنَا عَلَى الْحَالِفِ بِالطَّلاَقِ الكَفَّارَةَ، وَأَلْزَمْنَاهُ الْحَالِفَ بِالعِتَاقِ، لأَنَّ الأُمَّـةَ لَمْ تُجْمِعْ عَلَى أَنْ لاَ كَفَّارَةَ عَلَيْهِ. 

          “Jika seseorang bersumpah menceraikan atau memerdekakan budak maka ummat Islam telah sepakat (ijma’) bahwa talak tersebut tidak ada kaffarahnya dan jika ia menyalahi sumpahnya talaknya telah jatuh.” Kemudian al Marwazi mengatakan: “Setiap sumpah yang diucapkan oleh seseorang yang kemudian ia langgar maka ia wajib membayar kaffarah sesuai dengan zhahir al Qur’an, kecuali jika ummat telah menyepakati terhadap suatu sumpah bahwa tidak ada kaffarahnya, maka kita gugurkan kaffarah dari orang yang bersumpah talak, dan kita wajibkan kepada orang yang bersumpah memerdekakan budak karena ummat tidak menyepakati bahwa orang yang bersumpah memerdekakan budak tidak ada kaffarahnya.”

            C.     Thalaq al Ha-idl 
              Al Imam asy-Syafi’i menegaskan:[6]

              بَيَّنَ يَعْنِي فِي حَدِيْثِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ الطَّلاَقَ يَقَعُ عَلَى الْحَائِضِ لأَنَّـهُ إِنَّمَا يُؤْمَرُ بِالْمُرَاجَعَةِ مَنْ لَزِمَهُ الطَّلاَقُ، فَأَمَّا مَنْ لَمْ يَلْزَمْهُ الطَّلاَقُ فَهُوَ بِحَالِـهِ قَبْلَ الطَّلاَقِ.

              “Rasulullah menjelaskan –yakni di hadits Ibnu Umar- bahwa talak jatuh pada isteri yang haidl, karena orang yang diperintah untuk ruju’ adalah orang yang talaknya jatuh, sedangkan orang yang talaknya tidak jatuh maka dia tetap pada kondisinya sebelum talak.”

              Al Imam al Bukhari dalam Sahih-nya menyusun sebuah bab:[7]

              بَابُ إِذَا طُلِّقَتِ الْحَائِضُ تَعْتَدُّ بِذلِكَ الطَّلاَقِ .

              “Bab jika perempuan yang sedang haidl diceraikan maka ia menganggap talak tersebut telah jatuh.”

              Al Hafizh az-Zabidi dalam Syarh al Ihya’:[8]

              إِذَا طُلِّقَتِ الْحَائِضُ يُعْتَدُّ بِذلِكَ الطَّلاَقِ، أَجْمَعَ عَلَى ذلِكَ أَئِمَّةُ الفَتْوَى.

              “Jika perempuan yang sedang haidl diceraikan maka talak tersebut dihitung telah jatuh, hal ini disepakati (ijma’) oleh para ulama mujtahid.”

               Referensi

              [1]  Ibnu al Mundzir, al Ijma’, hal.103.
              [2]  Ibnu Hajar, Fath al Bari, 9/365.
              [3] Ahmad ash-Shawi al Maliki, Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala al Jalalayn, 1/107.
              [4]  Al Kawtsari, al Isyfaq ‘ala Ahkam ath-Thalaq, hal.43-44.
              [5] Ikhtilaf al ‘Ulama, hal.219.
              [6] Al Bayhaqi, as-Sunan al Kubra, 7/325.
              [7] Sahih al Bukhari, Kitab ath-Thalaq.
              [8]  Az-Zabidi, Ithaf as-Sadah al Muttaqin, 5/396.

              0 comments:

              Post a Comment