Sunday, April 28, 2013

Ibnu Taimiyah Meyakini bahwa Allah Duduk di Atas ‘Arsy


Ibnu Taimiyah meyakini bahwa Allah duduk di atas ‘arsy.
(Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah 1/260-262, Syarh Hadits an-Nuzul 66, 105, 145, 151,Majmu’ al Fatawa 5/519, 527, 16/434, Bayan Talbis al Jahmiyyah 1/576, Majmu’ah Tafsir354-355, 356-359, al Fatwa al Hamawiyyah 79, al Fataawa 4/374, Bayan Talbis al Jahmiyyah1/568)

Bantahan: 

Al Imam Abu Hanifah dalam al Washiyyah  menyatakan:

نُقِرُّ بِأَنَّ اللهَ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إِلَيْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ الْحَافِظُ لِلْعَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَيْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إِيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوْقِ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إِلَى الْجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلِ خَلْقِ العَرْشِ أَيْنَ كَانَ اللهُ تَعَالَى، تَعَالَى عَنْ ذلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا.

“Kita mengakui bahwa Allah memiliki sifat istiwa’ tanpa Allah membutuhkan ‘arsy, tanpa Allah bersemayam di atas ‘arsy, Allah-lah yang memelihara ‘arsy dan selain ‘arsy tanpa Allah butuh kepadanya, seandainya Allah membutuhkan niscaya tidak akan kuasa menciptakan alam dan mengaturnya seperti halnya makhluk, seandainya Allah butuh untuk duduk dan bersemayam lalu sebelum menciptakan ‘arsy di manakah Allah?  sungguh Allah benar-benar maha suci dari itu semua.”

Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya-  (227-321 H) berkata:

وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي البَشَرِ فَقَدْ كَفَرَ. 

“Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat makhluk-nya maka dia telah kafir.”

Al Imam al Bayhaqi menegaskan:[1]

وَفِيْمَا كَتَبَ إِلَيَّ الأُسْتَاذُ أَبُوْ مَنْصُوْرٍ بْنُ أَبِي أَيُّوْبَ أَنَّ كَثِيْرًا مِنْ مُتَأَخِّرِيْ أَصْحَابِنَا ذَهَبُوْا إِلَى أَنَّ الاسْتِوَاءَ هُوَ القَهْرُ وَالغَلَبَةُ وَمَعْنَاهُ أَنَّ الرَّحْمنَ غَلَبَ العَرْشَ وَقَهَرَهُ، وَفَائِدَتُهُ الإِخْبَارُ عَنْ قَهْرِ مَمْلُوْكَاتِهِ وَأَنَّهَا لَمْ تَقْهَرْهُ، وَإِنَّمَا خُصَّ العَرْشُ بِالذِّكْرِ لأَنَّهُ أَعْظَمُ الْمَمْلُوْكَاتِ تَنْبِيْهٌ بِالأَعْلَى عَلَى الأَدْنَى.

“Dalam tulisan yang dikirimkan oleh al Ustadz Abu Manshur ibn Ayyub bahwa banyak di antara generasi muta-akhkhirin dari kalangan para ulama kita (Asya-‘irah) berpendapat bahwa istiwa’ adalah mengalahkan, menundukkan dan menguasai, maknanya bahwa Allah menundukkan ‘arsy dan menguasainya, faedahnya informasi bahwa Allah menundukkan semua makhluk-Nya dan makhluk sama sekali tidak menundukkan Allah, secara khusus ‘arsy disebut karena ‘arsy adalah makhluk Allah yang paling besar, sebagai isyarat jika ‘arsy –makhluk Allah yang terbesar (al A’la) - dikuasai oleh-Nya apalagi makhluk yang lebih kecil (al Adna) darinya.”

Al Imam Taqiyyuddin as-Subki menegaskan:[2]

فَالْمُقْدِمُ عَلَى هذَا التَّأْوِيْلِ –أي عَلَى تَفْسِيْرِ الاسْـتِوَاءِ بِالاسْتِيْلاَءِ- لَمْ يَرْتَكِبْ مَحْذُوْرًا وَلاَ وَصَفَ اللهَ تَعَالَى بِمَا لاَ يَجُوْزُ عَلَيْهِ.

“Jadi orang yang melakukan takwil ini –menafsirkan istiwa’ dengan istila’- tidak melakukan hal yang terlarang dan tidak menyifati Allah dengan sifat yang mustahil bagi-Nya.”

Al Imam Abu Nashr al Qusyairi menegaskan:[3]

فَإِنْ قِيْلَ: أَلَيْسَ اللهُ يَقُوْلُ (الرحمن على العرش استوى) فَيَجِبُ الأَخْذُ بِظَاهِرِهِ، قُلْنَا: اللهُ يَقُوْلُ أَيْضًا:  (وهو معكم أين ما كنتم)   وَيَقُوْلُ: (ألا إنه بكل شىء محيط) فَيَنْبَغِيْ أَيْضًا أَنْ نَأْخُذَ بِظَاهِرِ هذِهِ الآيَاتِ حَتَّى يَكُوْنَ عَلَى العَرْشِ وَعِنْدَنَا وَمَعَنَا وَمُحِيْطًا بِالعَالَمِ مُحْدِقًا بِهِ بِالذَّاتِ فِيْ حَالَـةٍ وَاحِدَةٍ، وَالوَاحِدُ يَسْتَحِيْلُ أَنْ يَكُوْنَ بِذَاتِـهِ فِي حَالَةٍ وَاحِدَةٍ بِكُلِّ مَكَانٍ. قَالُوْا: قَوْلُـهُ (وهو معكم أين ما كنتم) يَعْنِيْ بِالعِلْمِ، وَ  (بكل شىء محيط) إِحَاطَةَ العِلْمِ قُلْنَا: وَقَوْلُهُ  (الرحمن على العرش استوى)  قَهَرَ وَحَفِظَ وَأَبْقَى.” ثُمَّ قَالَ: "وَلَوْ أَشْعَرَ مَا قُلْنَا تَوَهُّمَ غَلَبَتِهِ لأَشْعَرَ قَوْلُهُ: (وهو القاهر فوق عباده)  بِذلِكَ أَيْضًا حَتَّى يُقَالَ كَانَ مَقْهُوْرًا قَبْلَ خَلْقِ العِبَادِ هَيْهَاتَ إِذْ لَمْ يَكُنْ لِلْعِبَادِ وُجُوْدٌ قَبْلَ خَلْقِهِ إِيَّاهُمْ بَلْ لَوْ كَانَ الأَمْرُ عَلَى مَا تَوَهَّمَهُ الْجَهَلَةُ مِنْ أَنَّهُ اسْـتِوَاءٌ بِالذَّاتِ لأَشْعَرَ ذلِكَ بِالتَّغَـيُّرِ وَاعْوِجَاجٍ سَابِقٍ عَلَى وَقْتِ الاسْتِوَاءِ فَإِنَّ البَارِئَ تَعَالَى كَانَ مَوْجُوْدًا قَبْلَ العَرْشِ.” ثُمَّ قَالَ: "فَالرَّبُّ إِذَنْ مَوْصُوْفٌ بِالعُلُوِّ وَفَوْقِيَّةِ الرُّتْبَةِ وَالعَظَمَةِ وَمُنَـزَّهٌ عَنِ الكَوْنِ فِي الْمَكَانِ وَعَنِ الْمُحَاذَاةِ.

Jika dikatakan: bukankah Allah berfirman:
(الرحمن على العرش استوى)
maka wajib diambil zhahirnya, Kita jawab: Allah juga berfirman:
(وهو معكم أين ما كنتم)
Allah juga berfirman:
(ألا إنه بكل شىء محيط)
Berarti selayaknya juga kita memahami ayat-ayat ini sesuai dengan zhahirnya sehingga Allah berada di atas ‘arsy, ada di dekat kita, bersama kita, meliputi alam dengan dzat-Nya dalam satu keadaan sekaligus, padahal sesuatu yang satu mustahil dengan dzatnya di satu keadaan berada di semua tempat. Mereka akan mengatakan: kedua ayat tersebut dimaknai dengan ilmu Allah. Maka kita jawab: demikian pula ayat  
(الرحمن على العرش استوى)

Menundukkan, menguasai, memelihara dan menetapkan ‘arsy.”
Kemudian beliau berkata:
Seandainya  makna yang kita sebutkan memunculkan kesan perebutan dan kalah terlebih dahulu lalu menang, niscaya itu juga akan dikesankan oleh firman Allah:
(وهو القاهر فوق عباده)
Sehingga dikatakan Allah kalah sebelum menciptakan para hamba-Nya, mana mungkin ?!, bukankah para hamba belum ada sebelum Allah ciptakan mereka ?!, bahkan seandainya benar apa yang dikatakan oleh orang-orang dungu itu bahwa istiwa’ Allah adalah dengan Dzat-Nya niscaya itu mengesankan bahwa ada perubahan yang terjadi dan Allah bengkok terlebih dahulu sebelum saat istiwa’, karena Allah ada sebelum adanya ‘arsy”,  Kemudian beliau berkata: “Jadi Allah disifati dengan ketinggian dan kemuliaan derajat dan maha suci dari berada di suatu tempat atau berada di atas sesuatu.”

Syekh Syarafuddin ibn at-Tilimsani juga menjelaskan:

وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ مُحِيْطٌ لاَ كَإِحَاطَةِ الْحُقَّةِ بِاللُّؤْلُؤَةِ بَل بِالعِلْمِ وَالقُدْرَةِ وَالقَهْرِ وَالسُّلْطَانِ، لاَ يَعْزُبُ عَنْ عِلْمِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّموَاتِ وَلاَ فِي الأَرْضِ، وَكُلُّ شَىْءٍ تَحْتَ حُكْمِهِ وَقَهْرِهِ وَسُلْطَانِـهِ.

“Allah meliputi segala sesuatu bukan seperti meliputinya wadah (huqqah) terhadap mutiara di dalamnya, melainkan dengan ilmu, kekuasaan, sifat menundukkan dan berkuasa-Nya, tidaklah tersembunyi dari Allah seberat dzarrah-pun di langit dan bumi, segala sesuatu berada di bawah keputusan, ketundukan dan kekuasaan-Nya.”

Al Hafizh Ibnu al Jawzi menegaskan:[4]

فَإِنَّ وُجُوْدَهُ تَعَالَى لَيْسَ كَوُجُوْدِ الْجَوَاهِرِ وَالأَجْسَامِ الَّتِيْ لاَ بُدَّ لَهَا مِنْ حَيِّزٍ، وَالتَّحْتُ وَالفَوْقُ إِنَّمَا يَكُوْنُ فِيْمَا يُقَابَلُ وَيُحَاذَى، وَمِنْ ضَرُوْرَةِ الْمُحَاذِي أَنْ يَكُوْنَ أَكْبَرَ مِنَ الْمُحَاذَى أَوْ أَصْغَرَ أَوْ مِثْلَهُ وَأَنَّ هذَا وَمِثْلَهُ إِنَّمَا يَكُوْنُ فِي الأَجْسَامِ.

“Karena wujud Allah ta’ala tidak seperti wujudnya jawhar dan jism yang pasti membutuhkan ruang dan tempat. Sedangkan bawah dan atas berlaku bagi sesuatu yang dihadap atau berada di atasnya, dan sesuatu yang berada di atas sesuatu lainnya pasti lebih besar atau lebih kecil atau sama dengan sesuatu di bawahnya, ini dan semacamnya hanya berlaku pada jism (benda).”

Al Muhaddits Syekh Abdullah al Harari juga menegaskan:[5]

ثُمَّ عَلَى اعْتِقَادِهِمْ هذَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ مُحَاذِيًا لِلْعَرْشِ بِقَدْرِ العَرْشِ أَوْ أَوْسَعَ مِنْهُ أَوْ أَصْغَرَ، وَكُلُّ مَا جَرَى عَلَيْهِ التَّقْدِيْرُ حَادِثٌ مُحْتَاجٌ إِلَى مَنْ جَعَلَهُ عَلَى ذلِكَ الْمِقْدَارِ، قَالَ الْحَافِظُ الفَقِيْهُ اللُّغَوِيُّ مُرْتَضَى الزَّبِيْدِيُّ: مَنْ جَعَلَ اللهَ تَعَالَى مُقَدَّرًا بِمِقْدَارٍ كَفَرَ أَيْ لأَنَّـهُ جَعَلَـهُ ذَا كَمِّـيَّةٍ وَحَجْمٍ وَالْحَجْمُ وَالْكَمِّـيَّةُ مِنْ مُوْجِبَاتِ الْحُدُوْثِ، وَهَلْ عَرَفْنَا أَنَّ الشَّمْسَ حَادِثَةٌ مَخْلُوْقَـةٌ مِنْ جِهَةِ العَقْلِ إِلاَّ لأَنَّ لَهَا حَجْمًا، وَلَوْ كَانَ للهِ تَعَالَى حَجْمٌ لَكَانَ مِثْلاً لِلشَّمْسِ فِي الْحَجْمِيَّةِ وَلَوْ كَانَ كَذلِكَ مَا كَانَ يَسْتَحِقُّ الأُلُوْهِيَّةَ كَمَا أَنَّ الشَّمْسَ لاَ تَسْتَحِقُّ الأُلُوْهِـيَّةَ.

“Kemudian konsekwensi dari keyakinan mereka ini bahwa Allah berada di atas ‘arsy dengan jarak (tidak menempel) berarti Allah sebesar ‘arsy atau lebih besar atau lebih kecil dari ‘arsy, dan setiap yang berlaku baginya ukuran maka ia pasti baharu, butuh kepada yang menjadikannya dengan ukuran tersebut, Pakar hadits, fiqh dan bahasa Murtadla az-Zabidi mengatakan: Orang yang menjadikan Allah memiliki ukuran tertentu maka ia telah kafir, yakni karena ia telah menjadikan Allah memiliki bentuk dan ukuran, padahal bentuk dan ukuran meniscayakan kebaharuan, adakah kita tahu bahwa matahari itu baharu dan makhluk dari sisi akal kecuali karena matahari memiliki ukuran, seandainya Allah memiliki ukuran maka Allah menjadi serupa bagi matahari dalam memiliki ukuran, ini berarti Allah tidak berhak menjadi tuhan sebagaimana matahari tidak berhak menjadi tuhan.”

Al Harari juga menegaskan:[6]

أَمَّا الدَّلِيْلُ العَقْلِيُّ عَلَى تَنْـزِيْهِ اللهِ عَنِ الْمَكَانِ فَهُوَ أَنَّهُ تَعَالَى لَوْ اسْـتَقَرَّ عَلَى مَكَانٍ أَوْ حَاذَى مَكَانًا لَمْ يَخْلُ أَنْ يَكُوْنَ بِقَدْرِ الْمَكَانِ أَوْ أَصْغَرَ مِنْهُ أَوْ أَكْبَرَ مِنْهُ، فَلَوْ كَانَ مِثْلَ الْمَكَانِ لَكَانَ لَـهُ شَكْلُ الْمَكَانِ إِنْ كَانَ ذلِكَ الْمَكَانُ مُرَبَّعًا أَوْ مُثَلَّثًا أَوْ غَيْرَهُمَا مِنَ الأَشْكَالِ فَيَكُوْنُ مُحْتَاجًا إِلَى مُخَصِّصٍ خَصَّصَهُ بِأَحَدِ هذِهِ الأَشْكَالِ وَهذَا عَجْزٌ، وَلَوْ كَانَ أَكْبَرَ مِنَ الْمَكَانِ لأَدَّى ذلِكَ إِلَى التَّوَهُّمِ أَنَّ اللهَ مُتَجَزِّئٌ بِأَنْ يَكُوْنَ جُزْءٌ مِنْهُ فِي مَكَانٍ وَالزَّائِدُ خَارِجَ الْمَكَانِ وَاعْتِقَادُ هذَا كُفْرٌ أَيْضًا، وَلَوْ كَانَ أَصْغَرَ مِنَ الْمَكَانِ لَكَانَ ذلِكَ حَصْرًا لَـهُ وَهذَا لاَ يَلِيْقُ بِاللهِ تَعَالَى . فَمُحَالٌ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ مِثْلَ الْمَكَانِ أَوْ أَكْبَرَ مِنَ الْمَكَانِ أَوْ أَصْغَرَ مِنَ الْمَكَانِ وَمَا أَدَّى إِلَى الْمُحَالِ مُحَالٌ.

“Sedangkan dalil akal tentang pensucian Allah dari tempat adalah bahwa Allah ta’ala seandainya bersemayam di atas suatu tempat atau berada di atas atau di bawah suatu tempat dengan jarak maka pasti akan berukuran seperti tempat tersebut atau lebih kecil atau lebih besar, seandainya Allah berukuran sebesar tempat tersebut niscaya ia memiliki bentuk seperti bentuk tempat tersebut, baik tempat tersebut berbentuk empat persegi panjang, segitiga atau bentuk lain  maka Ia membutuhkan kepada mukhashshish yang menentukan-Nya dengan salah satu bentuk tersebut  dan ini adalah kelemahan (‘ajz), seandainya Allah lebih besar dari tempat tersebut maka itu mengantarkan kepada anggapan bahwa Allah terbagi, sebagian dari-Nya ada di suatu tempat dan selebihnya di luar tempat tersebut, meyakini seperti ini adalah kekufuran juga. Seandainya Allah lebih kecil dari tempat tersebut niscaya ini menjadikan Allah terliputi oleh tempat tersebut dan ini juga tidak layak bagi Allah. Maka mustahil-lah Allah berukuran seperti tempat, atau lebih besar atau lebih kecil dari tempat tersebut, dan pendapat yang berujung kepada konsekwensi yang mustahil maka ia adalah sesuatu yang mustahil.”

Al Imam Ja’far ash-Shadiq berkata:

مَنْ زَعَمَ أَنَّ اللهَ فِي شَىْءٍ أَوْ عَلَى شَىْءٍ أَوْ مِنْ شَىْءٍ فَقَدْ أَشْرَكَ، إِذْ لَوْ كَانَ فِي شَىْءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا وَلَوْ كَانَ عَلَى شَىْءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىْءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا (أَيْ مَخْلُوْقًا).

“Barang siapa beranggapan bahwa Allah di dalam sesuatu, di atas sesuatu atau dari sesuatu maka dia telah musyrik, karena seandainya Allah di dalam sesuatu berarti terliputi oleh sesuatu tersebut, seandainya Allah di atas sesuatu berarti Ia terbawa (terpikul) oleh sesuatu tersebut, dan seandainya Allah dari sesuatu berarti Ia adalah baharu (makhluk) .”

 Catatan kaki

[1] Al Bayhaqi al Bayhaqi, al Asma’ Wa ash-Shifat, hal. 413.
[2] At-Taqiyy as-Subki, as-Sayf ash-Shaqil, hal.99.
[3] Az-Zabidi, Ithaf as-Sadah al Muttaqin, 2/108-109.
[4]  Ibn al Jawzi, Daf’u Syubah at-Tasybih, hal. 40.
[5]  Al Harari,  as-Syarh al Qawim, hal. 121-122.
[6]  Al Harari,  asy-Syarh al Qawim, hal. 114-115.

0 comments:

Post a Comment