Sunday, April 28, 2013

Ibnu Taimiyah meyakini berlakunya sifat-sifat baharu bagi Allah


Ibnu Taimiyah meyakini berlakunya sifat-sifat baharu bagi Allah. (Muwafaqah Sharih al Ma’qul Li Shahih al Manqul 1/64, 142, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah 1/210, 224, Majmu’ al Fatawa 6/299, Majmu’ah Tafsir hal. 309, 312-314)

Bantahan:

Al Imam Abu al Muzhaffar al Asfarayini menegaskan:[1]

"هُوَ أَنْ تَعْلَمَ أَنَّ الْحَوَادِثَ لاَ يَجُوْزُ حُلُوْلُهَا فِي ذَاتِـهِ وَصِفَاتِـهِ لأَنَّ مَا كَانَ مَحَلاًّ لِلْحَوَادِثِ لَمْ يَخْلُ مِنْهَا، وَإِذَا لَمْ يَخْلُ مِنْهَا كَانَ مُحْدَثًا مِثْلَهَا،
وَلِهذَا قَالَ الْخَلِيْلُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ: فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لآأُحِبُّ اْلأَفِلِينَ [سورة الأنعام:76] بَيَّنَ بِهِ أَنَّ مَنْ حَلِّ بِهِ مِنَ الْمَعَانِي مَا يُغَيِّرُهُ مِنْ حَالٍ إِلَى حَالٍ كَانَ مُحْدَثًا لاَ يَصِحُّ أَنْ يَكُوْنَ إِلـهًا.”

Yaitu engkau mesti tahu bahwa sesuatu yang baharu (makhluk) mustahil bertempat pada Dzat dan sifat-sifat-Nya, karena sesuatu yang menjadi tempat perkara-perkara baharu tidak akan pernah sepi (kosong) darinya, dan jika tidak pernah terlepas darinya maka ia baharu seperti halnya perkara-perkara tersebut, oleh karenanya al Khalil Ibrahim ‘alayhissalam berkata: “Aku tidak meyakini sebagai tuhan perkara-perkara yang terbenam.” Al Khalil menegaskan bahwa perkara yang berlaku padanya sesuatu yang merubahnya dari satu keadaan ke keadaan lain maka ia baharu dan tidak sah menjadi tuhan.”

Az-Zarkasyi dalam Tasynif al Masa-mi’ menegaskan:

وَقَدْ بَرْهَنَ الأَئِمَّةُ عَلَى حُدُوْثِهِ البَرَاهِيْنَ القَاطِعَةَ، وَمِنْهَا أَنَّهُ يَتَغَيَّرُ عَلَيْهِ الصِّفَاتُ وَيَخْرُجُ مِنْ حَالٍ إِلَى حَالٍ وَهُوَ ءَايَـةُ الْحُدُوْثِ، وَاقْتَـفَوْا فِي ذلِكَ طَرِيْقَةَ الْخَلِيْلِ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِ، فَإِنَّ اللهَ سَمَّاهَا حُجَّةً وَأَثْنَى عَلَيْهَا، فَاسْتَدَلَّ بِأُفُوْلِ الكَوَاكِبِ وَشُرُوْقِهَا وَزَوَالِهَا بَعْدَ اعْتِدَالِهَا عَلَى حُدُوْثِهَا، وَاسْتَدَلَّ بِحُدُوْثِ الآفِلِ عَلَى وُجُوْدِ الْمُحْدِثِ، وَالْحُكْمُ عَلَى السَّموَاتِ وَالأَرْضِ بِحُكْمِ النَّـيِّرَاتِ الثَّلاَثِ وَهُوَ الْحُدُوْثُ طَرْدًا لِلدَّلِيْلِ فِي كُلِّ مَا هُوَ مَدْلُوْلُهُ لِتَسَاوِيْهَا فِي عِلَّةِ الْحُدُوْثِ وَهُوَ الْجِسْمَانِيَّةُ، فَإِذَا وَجَبَ القَضَاءُ بِحُدُوْثِ جِسْمٍ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ جِسْمٌ وَجَبَ القَضَاءُ بِحُدُوْثِ كُلِّ جِسْمٍ وَهذَا هُوَ الْمَقْصُوْدُ مِنْ طَرْدِ الدَّلِيْلِ.

Para ulama telah membuktikan kebaharuan alam dengan bukti-bukti yang qath’i, di antaranya bahwa alam itu berlaku baginya sifat-sifat yang berubah dan berganti keadaannya dari satu keadaan ke keadaan lain dan itu adalah ciri kebaharuan (kemakhlukan). Dalam hal ini mereka mengikuti metode al Khalil Ibrahim –Shalawatullah ‘alayhi-, karena Allah menamakan metode tersebut sebagai hujjah dan Allah memujinya. Al Khalil berdalil dengan terbenam dan terbitnya bintang-bintang dan tergelincirnya bintang setelah sebelumnya tegak bahwa itu semua menunjukan bahwa bintang-bintang tersebut baharu, dan ketika sesuatu yang terbenam itu baharu berarti ada yang memunculkannya. Ini berarti bahwa status langit dan bumi sama dengan bintang, bulan dan matahari tersebut yaitu sama-sama baharu, sebagai bentuk berlakunya dalil tersebut pada semua madlulnya karena langit, bumi, bintang, bulan dan matahari sama alasan kebaharuannya, yaitu kebendaannya (masing-masing sama-sama memiliki ukuran), jadi wajib diputuskan jika setiap jism pasti baharu dari sisi bahwa ia jisim maka wajib dikatakan bahwa setiap jisim itu baharu, inilah yang dimaksud Thard ad-Dalil (pemberlakuan secara konsisten terhadap dalil pada semua cakupannya).” 

Syekh Muhammad Zahid al Kawtsari menegaskan:[2]

وَلَمْ يَدْرِ الْمِسْكِيْنُ بُطْلاَنَ القَوْلِ بِحُلُوْلِ الْحَوَادِثِ فِي اللهِ جَلَّ شَأْنُهُ وَأَنَّ القَوْلَ بِحَوَادِثَ لاَ أَوَّلَ لَهَا هَذَيَانٌ، لأَنَّ الْحَرَكَةَ انْتِـقَالٌ مِنْ حَالَـةٍ إِلَى حَالَـةٍ، فَهِيَ تَقْتَضِي بِحَسَبِ مَاهِيتِهَا كَوْنَهَا مَسْبُوْقَـةً بِالغَيْرِ، وَالأَزَلِيُّ يُنَافِي كَوْنَهُ مَسْبُوْقًا بِالغَيْرِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُوْنَ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا مُحَالاً.

Ibnu Taimiyah yang payah ini tidak memahami kebatilan pendapat bahwa sifat-sitat baharu bertempat pada Allah dan bahwa pendapat adanya hawa-dits yang tiada permulaan baginya adalah igauan, karena gerakan adalah berpindah dari satu keadaan ke keadaan lain, maka dilihat dari substansinya gerakan itu didahului oleh yang lain, padahal status azali bertolak belakang dengan terdahuluinya sesuatu oleh yang lain, maka menyatukan antara terdahuluinya oleh yang lain dan keazalian adalah sesuatu yang mustahil.”

Catatan kaki

[1] Abu al Muzhaffar al Asfarayini, at-Tabshir fi ad-Din, hal. 97-98
[2] Al Kawtsari, al Maqaalaat, hal. 32.

0 comments:

Post a Comment