Sunday, April 28, 2013

Sekilas Tentang Syaikh Ibnu Taimiyah


Ahmad ibn Taimiyah lahir di Harran, Syiria, di tengah keluarga berilmu yang bermadzhab Hanbali. Ayahnya adalah seorang yang berperawakan tenang. Beliau dihormati oleh para ulama Syam dan para pejabat pemerintah  sehingga mereka mempercayakan beberapa jabatan ilmiah kepadanya untuk membantunya. Setelah ayahnya wafat, Ibnu Taimiyah menggantikan posisinya. Orang-orang yang selama ini mempercayai ayahnya, menghadiri majelisnya guna mendorong dan memotivasinya dalam meneruskan tugas-tugas ayahnya dan memujinya. Namun pujian tersebut ternyata justru membuat Ibnu Taimiyah terlena dan tidak menyadari motif sebenarnya di balik pujian tersebut. Ibnu Taimiyah mulai menyebarkan satu demi satu bid’ah-bid’ahnya hingga para ulama dan pejabat yang dulu memujinya tersebut mulai menjauhinya satu persatu.

Ibnu Taimiyah meskipun tersohor dan memiliki banyak karangan dan pengikut, namun sesungguhnya ia adalah seperti yang dinyatakan oleh al Hafizh al Faqih Waliyyuddin  al ‘Iraqi (W. 862  H):  “Ibnu Taimiyah telah menyalahi Ijma’ dalam banyak permasalahan, kira-kira sekitar 60 masalah, sebagian dalam masalah Ushul ad-Din (pokok-pokok agama) dan sebagian berkenaan dengan masalah-masalah furu’ ad-Din (cabang-cabang agama), Ibnu Taimiyah  dalam masalah-masalah tersebut mengeluarkan pendapat lain;  yang berbeda setelah terjadi ijma’ tentangnya.”

Berbagai kalangan orang awam dan yang lainpun mulai terpengaruh dan mengikuti Ibnu Taimiyah sehingga ulama-ulama di masa Ibnu Taimiyah mulai angkat bicara dan membantah pendapat-pendapatnya serta memasukkannya dalam kelompok para para ahli bid’ah. Di antara yang membantah Ibnu Taimiyah adalah al Imam al Hafizh Taqiyyuddin Ali bin Abd al Kafi as-Subki (W. 756 H) dalam karyanya ad-Durrah al Mudliyyah fi ar-Radd 'ala Ibn Taimiyah, beliau mengatakan:

“Amma ba’du. Ibnu Taimiyah benar-benar telah membuat bid’ah-bid’ah dalam dasar-dasar keyakinan (Ushul al 'Aqa-id), ia telah meruntuhkan tonggak-tonggak dan sendi-sendi Islam setelah ia sebelum ini bersembunyi di balik kedok mengikuti al Qur’an dan as-Sunnah. Pada zhahirnya ia mengajak kepada kebenaran dan menunjukkan kepada jalan surga, ternyata kemudian ia bukan melakukan ittiba’(mengikuti sunnah, ulama Salaf dan konsensus ulama) tetapi justru membuat bid’ah-bid’ah baru, ia menyempal dari ummat muslim dengan menyalahi Ijma’ mereka dan ia juga mengatakan tentang Allah perkataan yang mengandung tajsim (meyakini Allah adalah jisim; benda yang memiliki ukuran dan dimensi) dan ketersusunan (tarkib) bagi Dzat Allah.”

Di antara perkataan Ibnu Taimiyah dalam ushul ad-din yang menyalahi ijma’  kaum muslimin adalah perkataannya bahwa jenis alam ini qadim (tidak bermula), (sebagaimana ia katakan dalam tujuh karyanya:  Muwafaqah Sharih al Ma’qul li Shahih al Manqul, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, Syarh Hadits  an-Nuzul, Syarh Hadits ‘Imran ibn al Hushain, Naqd Maratib al Ijma’, Majmu’ah Tafsir Min Sitt Suwar, Al Fatawa) dan Allah pada Azal (keberadaan tanpa permulaan) selalu diiringi dengan makhluk.  Ibnu Taimiyah juga mengatakan bahwa Allah adalah jism (bentuk), mempunyai arah dan berpindah-pindah. Ini semua adalah hal yang ditolak dalam agama Allah ini.

Dalam sebagian karangannya, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa Allah Ta’ala persis sebesar ‘Arsy, tidak lebih besar atau lebih kecil, Maha suci Allah dari perkataan ini. Ibnu Taimiyah juga menyatakan bahwa para nabi itu tidak ma’shum, Nabi Muhammad tidak memilik jah (kehormatan), karena itu menurutnya jika ada orang bertawassul dengan Nabi maka ia salah besar (sebagaimana ia nyatakan dalam bukunya at-Tawassul Wa al Wasilah) Ia juga mengatakan bahwa berpergian untuk berziarah ke makam Rasulullah adalah perjalanan yang tergolong maksiat dan tidak boleh mengqashar shalat karenanya (sebagaimana ia kemukakan dalam kitab al Fatawa).  Dalam hal ini ia benar-benar sangat berlebihan padahal tidak ada seorangpun sebelumnya berpendapat semacam ini. Ibnu Taimiyah juga menyatakan bahwa siksa bagi penduduk neraka akan terhenti dan tidak akan berlaku selama-lamanya (sebagaimana dituturkan oleh sebagian ahli fiqh dari sebagian karangan Ibnu Taimiyah dan dinukil oleh muridnya; Ibn al Qayyim al Jawziyyah dalam kitab Hadi al Arwah).

Ibnu Taimiyah sudah berkali-kali diperintah untuk bertaubat dari perkataan dan keyakinannya yang sesat ini, baik dalam masalah-masalah ushul maupun furu', namun ia selalu mengingkari janji-janjinya sehingga akhirnya ia dipenjara dengan kesepakatan para qadli  (hakim) dari empat madzhab; Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Al Imam al Hafizh al Faqih al Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki dalam salah satu risalahnya mengatakan: “Ibnu Taimiyah dipenjara atas kesepakatan para ulama dan para penguasa.” Terakhir mereka menyatakan Ibnu Taimiyah adalah sesat, harus diwaspadai dan dijauhi, seperti dijelaskan oleh Ibnu Syakir al Kutubi (murid Ibnu Taimiyah sendiri) dalam kitabnya ‘Uyun at-Tawarikh. Pada saat yang sama, raja Muhammad ibn Qalawun mengeluarkan keputusan resmi pemerintah untuk dibaca di semua Masjid di Syam dan Mesir agar masyarakat mewaspadai dan menjauhi Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya. Ibnu Taimiyah akhirnya dipenjara di benteng al Qal’ah di Damaskus hingga mati di tahun 728 H.

0 comments:

Post a Comment