Sunday, April 28, 2013

Ibnu Taimiyah Meyakini bahwa Allah Berada di Suatu Arah dan Tempat


Ibnu Taimiyah meyakini bahwa Allah berada di suatu arah dan tempat.
(Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah 1/56, 142, 217, 242, 249, 250, 262, 264, ar-Risalah at-Tadmuriyyah, hal. 46, Bayan Talbis al Jahmiyyah 1/526)

Bantahan:

Syekh Syarafuddin ibn at-Tilimsani dalam Syarh Luma’ al Adillah menyatakan:

قَوْلُهُ تَعَالَى (ليس كمثله شىء)  نَفَى عَنْ نَفْسِهِ مُشَابَهَةَ العَالَمِ إِيَّاهُ، فَفِي التَّحَيُّزِ بِجِهَةٍ مِنَ الْجِهَاتِ مُشَابَهَةُ الأَجْسَامِ وَالْجَوَاهِرِ، وَفِي التَّمَكُّنِ فِي مَكَانٍ مُمَاثَلَةٌ لِلْجَوَاهِرِ الْمُتَمَكِّنَةِ فِي الأَمْكِنَةِ، فَفِي وَصْفِهِ بِالْجِهَاتِ قَوْلٌ بِالانْحِصَارِ فِيْهَا، وَفِي القَوْلِ بِالتَّمَكُّنِ فِي الْمَكَانِ إِثْبَاتُ الْحَاجَةِ إِلَى الْمَكَانِ، وَفِي كُلِّ ذلِكَ إِيْجَابُ حُدُوْثِـهِ وَإِزَالَـةُ قِدَمِهِ، وَذلِكَ كُلُّهُ مُحَالٌ فِي حَقِّ القَدِيْمِ.

Firman Allah ta’ala ini (QS. Asy-Syura:11) menafikan dari-Nya bahwa alam menyerupai-Nya, sedangkan berada di salah satu arah jelas mengandung unsur menyerupai jism dan jawhar, bertempat di suatu tempat juga menyerupai benda-benda yang menempati tempat, jadi menyifati Allah dengan arah berarti menyatakan bahwa Allah memiliki ukuran yang diliputi oleh arah tersebut, dan menyatakan Allah bertempat di suatu tempat adalah menetapkan sifat membutuhkan kepada tempat, jelas itu semua meniscayakan kebaharuan Allah dan menafikan keazalian-Nya, dan itu semua adalah mustahil bagi Allah yang qadim.”

Al Imam Abu Hanifah dalam al Fiqh al Absath menyatakan:

كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ، كَانَ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، كَانَ وَلَمْ يَكُنْ أَيْنٌ وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىْءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ.

"Allah ta'ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu apapun dan  Dia pencipta segala sesuatu.”

Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya-  (227-321 H) berkata:

لاَ تَحْـوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ. 

“Allah tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut.”

Al Imam Abu Manshur al Baghdadi berkata:[1]

وَأَجْمَعُوْا –أَيْ أَهْلُ السُّـنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ- عَلَى أَنَّـهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ.

Ahlussunnah Wal Jama’ah sepakat bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat dan tidak dilalui oleh masa.”
Al Imam Abu Nashr al Qusyairi menegaskan:[2]

وَالَّذِيْ يَدْحَضُ شُبَهَهُمْ أَنْ يُقَالَ لَهُمْ: قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ العَالَمَ أَوْ الْمَكَانَ هَلْ كَانَ مَوْجُوْدًا أَمْ لاَ ؟ فَمِنْ ضَرُوْرَةِ العَقْلِ أَنْ يَقُوْلُوْا بَلَى، فَيَلْزَمُهُ لَوْ صَحَّ قَوْلُهُ لاَ يُعْلَمُ مَوْجُوْدٌ إِلاَّ فِي مَكَانٍ أَحَدُ أَمْرَيْنِ: إِمَّا أَنْ يَقُوْلَ اَلْمَكَانُ وَالعَرْشُ وَالعَالَمُ قَدِيْمٌ، وَإِمَّا أَنْ يَقُوْلَ اَلرَّبُّ مُحْدَثٌ وَهذَا مَآلُ الْجَهَلَةِ الْحَشَوِيَّةِ، لَيْسَ القَدِيْمُ بِالْمُحْدَثِ وَالْمُحْدَثُ بِالقَدِيْمِ.

Dalil yang bisa mematahkan syubhat mereka adalah dikatakan kepada mereka: sebelum Allah menciptakan alam atau tempat apakah Allah ada atau tidak ada?, jika akal mereka sehat pasti akan menjawab: Allah ada. Seandainya perkataan mereka: bahwa tidaklah diketahui adanya sesuatu kecuali sesuatu itu berada di sebuah tempat, seandainya perkataan mereka ini benar berarti hanya ada dua pilihan: dia mengatakan tempat, ‘arsy dan alam adalah qadim atau mengatakan bahwa Tuhan itu baharu, inilah konsekwensi perkataan golongan Hasyawiyyah yang dungu itu, Dzat yang qadim tidaklah baharu dan yang baharu bukanlah qadim.”

Al Muhaddits Syekh Abdullah al Harari menegaskan:[3]

فَكَمَا صَحَّ وُجُوْدُ اللهِ تَعَالَى بِلاَ مَكَانٍ وَجِهَةٍ قَبْلَ خَلْقِ الأَمَاكِنِ وَالْجِهَاتِ فَكَذلِكَ يَصِحُّ وُجُوْدُهُ بَعْدَ خَلْقِ الأَمَاكِنِ بِلاَ مَكَانٍ وَجِهَةٍ، وَهذَا لاَ يَكُوْنُ نَفْيًا لِوُجُوْدِهِ تَعَالَى كَمَا زَعَمَتِ الْمُشَبِّهَةُ وَالوَهَّابِـيَّةُ وَهُمُ الدُّعَاةُ إِلَى التَّجْسِيْمِ فِي هذَا العَصْرِ.

Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah sebagaimana diklaim oleh golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (Musyabbihah) dan golongan Wahhabi, dan mereka-lah para penyeru kepada akidah tajsim (keyakinan batil bahwa Allah adalah benda –jism) di masa ini .” 
Al Harari juga menegaskan:[4]

فَالْمُشَبِّهَةُ بِأَسْرِهِمْ لاَ يَعْتَقِدُوْنَ مَوْجُوْدًا بِلاَ مَكَانٍ، وَفِي القُرْءَانِ وَالأَحَادِيْثِ دَلاَلَـةٌ عَلَى صِحَّةِ الوُجُوْدِ بِلاَ مَكَانٍ قَالَ اللهُ تَعَالَى: uqèd ãA¨rF{$# ÇÌÈ (سورة الحديد: 3) أَيْ الْمَوْجُوْدُ الَّذِيْ لَيْسَ لِوُجُوْدِهِ ابْتِدَاءٌ أَيْ الَّذِيْ كَانَ مَوْجُوْدًا قَبْلَ كُلِّ شَىْءٍ الْمَكَانِ وَالْجِهَاتِ وَغَيْرِ ذلِكَ مِنَ الْحَوَادِثِ.

Jadi golongan Musyabbihah semuanya tidak meyakini adanya sesuatu tanpa tempat, padahal dalam al Qur’an dan hadits-hadits Nabi terdapat petunjuk tentang sahnya keberadaan tanpa tempat, Allah ta’ala berfirman: “(Hanyalah) Allah yang Awwal (ada tanpa permulaan)” (Q.S. al Hadid: 3) yakni sesuatu yang ada yang adanya tidak memiliki permulaan, yakni yang ada sebelum segala sesuatu; tempat, arah dan perkara-perkara baharu (makhluk) lainnya.”

Al Imam Abu ِAbdillah al Qurthubi menegaskan:[5]

وَالَّذِيْ يَقْتَضِيْ بُطْلاَنَ الْجِهَةِ وَالْمَكَانِ مَعَ مَا قَرَّرْنَاهُ مِنْ كَلاَمِ شَيْخِنَا وَغَيْرِهِ مِنَ العُلَمَاءِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا أَنَّ الْجِهَةَ لَوْ قُدِّرَتْ لَكَانَ فِيْهَا نَفْيُ الكَمَالِ، وَخَالِقُ الْخَلْقِ مُسْتَغْنٍ بِكَمَالِ ذَاتِهِ عَمَّا لاَ يَكُوْنُ بِهِ كَامِلاً. وَالثَّانِي أَنَّ الْجِهَةَ إِمَّا أَنْ تَكُوْنَ قَدِيْمَةً أَوْ حَادِثَةً، فَإِنْ كَانَتْ قَدِيْمَةً أَدَّى إِلَى مُحَالَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُوْنَ مَعَ البَارِئِ فِي الأَزَلِ غَيْرُهُ، وَالقَدِيْمَانِ لَيْسَ أَحَدُهُمَا بِأَنْ يَكُوْنَ مَكَانًا لِلثَّانِي بِأَوْلَى مِنَ الآخَرِ فَافْتَقَرَ إِلَى مُخَصِّصٍ يُنْقَلُ الكَلاَمُ إِلَيْهِ وَمَا يُفْضِيْ إِلَى الْمُحَالِ مُحَالٌ.

Dalil yang menunjukkan batilnya arah dan tempat bagi Allah disimpulkan dari perkataan guru kami dan perkataan para ulama lainnya ada dua hal: Pertama: seandainya arah berlaku bagi Allah itu berarti menafikan kesempurnaan Allah, padahal pencipta makhluk dengan kesempurnaan Dzat-Nya tidak membutuhkan sesuatu yang dengannya Allah menjadi tidak sempurna. Kedua: arah itu hanya ada dua kemungkinan qadim atau baharu, jika arah itu qadim itu akan mengantarkan pada dua hal yang mustahil; 1. Pada azal ada sesuatu selain Allah yang bersama-Nya, sedangkan dua hal yang qadim satu dengan yang lain tidak ada yang lebih layak menjadi tempat untuk yang lain, sehingga membutuhkan kepada Mukhashshish (yang menentukan mana yang menempati dan ditempati) sehingga pembicaraan dialihkan tentangnya dan sesuatu yang mengantarkan kepada kemustahilan adalah mustahil.”
Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani menegaskan:[6]

فَمُعْتَقَدُ سَلَفِ الأَئِمَّةِ وَعُلَمَاءِ السُّـنَّةِ مِنَ الْخَلَفِ أَنَّ اللهَ مُنَـزَّهٌ عَنِ الْحَرَكَةِ وَالتَّحَوُّلِ وَالْحُلُوْلِ، لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ.

Jadi keyakinan para ulama salaf dan ulama Ahlussunnah dari kalangan khalaf bahwa Allah maha suci dari bergerak, berpindah dan menempati makhluk, Allah tidak menyerupai semua makhluk.”
Ibnu al Mu’allim menyebutkan pernyataan al Imam asy-Syafi’i yang mengkafirkan orang yang meyakini bahwa Allah adalah duduk di atas ‘arsy:[7]

وَهذَا يَنْظِمُ مَنْ كُفْرُهُ مُجمَعٌ عليهِ وَمَنْ كَفَّرْنَاهُ مِنْ أهلِ القِبْلَةِ كَالقَائِلِيْنَ بِخَلْقِ القُرْءَانِ وَبِأنَّـه لاَ يَعلَمُ الْمَعدومَاتِ قبلَ وجودِهَا وَمَنْ لاَ يُؤمِن بالقدَرِ، وَكَذَا مَنْ يَعْتَـقِدُ إِنَّ اللهَ جَالِسٌ عَلَى العَرْشِ كَمَا حَكَاهُ القَاضِيْ حُسَيْنٌ هُنَا عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ.

Ini mencakup orang yang kekafirannya disepakati (ijma’) dan seorang Ahlul Qiblah (orang yang bersyahadat dan sholat dan seterusnya) tetapi kita kafirkan seperti orang-orang yang meyakini bahwa al Qur’an dengan makna sifat Kalam Allah adalah makhluk, Allah tidak mengetahui segala sesuatu yang tidak ada sebelum adanya, orang yang tidak beriman kepada Qadar Allah, demikian juga orang yang meyakini bahwa Allah duduk di atas ‘arsy sebagaimana dinukil oleh al Qadli Husein di sini dari nash (penegasan langsung) asy-Syafi’i.”

Syekh Ibnu Hajar al al Haytami menyatakan:[8]

وَاعْلَمْ أَنَّ القَرَافِيَّ وَغَيْرَهُ حَكَوْا عَنِ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ وَأَبِيْ حَنِيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ القَوْلَ بِتَكْفِيْرِ القَائِلِيْنَ بِالْجِهَةِ وَالتَّجْسِيْمِ وَهُمْ حَقِيْقُوْنَ بِذلِكَ.

"Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi'i, Malik, Ahmad dan  Abu Hanifah -semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orang-orang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran).”

Syekh Ali al Qari dalam Syarh al Misykat al Mashabih (3/300) juga menegaskan:

قَالَ جَمْعٌ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ إِنَّ مُعْتَقِدَ الْجِهَةِ كَافِرٌ كَمَا صَرَّحَ بِـهِ العِرَاقِيُّ وَقَالَ إِنَّـهُ قَوْلُ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَمَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَالأَشْعَرِيِّ وَالبَاقِلاَّنِيِّ.

Sekelompok ulama salaf dan khalaf menegaskan bahwa orang yang meyakini arah bagi Allah maka ia telah keluar dari Islam sebagaimana ditegaskan oleh al ‘Iraqi, al ‘Iraqi menyatakan bahwa itu adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, al Asy’ari dan al Baqillani.”

Catatan kaki

[1]  Al Baghdadi, al Farq bayna al Firaq, hal.333.
[2]  Az-Zabidi, Ithaf as-Sadah al Muttaqin, 2/108-109.
[3]  Al Harari,  asy-Syarh al Qawim, hal. 114-115.
[4]  Al Harari,  at-Ta’awun ‘ala an-Nahy ‘an al Munkar, hal. 43-44.
[5] Dikutip oleh Ibnu al Mu’allim al Qurasyi dalam Najm al Muhtadi Wa Rajm al Mu’tadi, hal.545.
[6]  Ibnu Hajar, Fath al Bari, jilid 6, hal.136.
[7] Lihat Najm al Muhtadi Wa Rajm al Mu’tadi 551, pernyataan Imam Syafi’i ini dikutip oleh al Imam Ibnu ar-Rif’ah dalam Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih.
[8]  Ibnu Hajar al Haytami, al Minhaj al Qawim, hal. 64.

0 comments:

Post a Comment